Esih baru saja hendak bersiap menyiapkan sarapan saat ia terpaksa membukakan pintu untuk tamu tak diundang. Sekilas ia menundukkan kepala, menunjukkan rasa hormat kepada pria yang ia ketahui sebagai kepala desa. Selama bertahun-tahun ia tinggal, sepertinya baru kali ini ia berdiri berhadap-hadapan dengan yang bersangkutan. Selama ini Esih hanya pernah memandangnya dari jauh serta mendengar rumor tentang bagaimana kepala desa mereka tidak begitu peduli kepada warganya.
Maka tidak heran jika dirinya sangat terkejut saat rumahnya dikunjungi di pagi buta tanpa pemberitahuan sebelumnya. Firasat buruk menyelubungi hatinya. Ingin sekali ia mengusir pria itu pergi, tetapi sebisa mungkin ia menahan diri dan menyambut kedatangan sang kepala desa dengan ramah.
“Eh, sugan teh saha. Damang, Pak Jaya?”1 sapa Dadang sambil berdiri di samping Esih yang sedang meletakkan tiga cangkir teh manis hangat ke atas meja. Sebelumnya, saat Esih menyeduh teh di dapur, Dadang sudah bertanya tentang siapa yang datang. Namun, ayah Nia itu tetap bersikap seolah-olah ia terkejut saat melihat Jaya duduk di kursi ruang tamu. Setengah hati Dadang juga menanyakan kabar sang kepala desa.
“Kabar saya baik, Pak,” jawab Jaya dengan bahasa Indonesia yang cukup baku. Hampir tidak terdengar logat Sunda dalam ucapannya. “Maaf, saya terburu-buru datang kemari tanpa memberitahu lebih dulu. Tadinya saya ingin mengutus Pak RT atau Pak RW juga, tapi saya pikir mungkin lebih baik saya datang sendiri.”
Mendengar itu, tubuh Dadang yang baru saja duduk di hadapan Jaya langsung menegang. Kini jelas sudah bahwa Jaya tidak bermaksud untuk sekadar menyapa keluarga Dadang sebagai warga desa di bawah kepemimpinannya, tujuan pria bertubuh cukup gempal itu pasti jauh lebih mendesak dari itu.
Tidak ada masalah penting lain yang bisa Dadang pikirkan selain masalah yang menyangkut Nia. Namun, sampai saat ini, tidak ada yang mengetahui dengan pasti apa yang telah terjadi selain keluarga mereka dan tentu saja … sang pelaku. Refleks Dadang mengepalkan tangan kuat-kuat. Sang pelaku mungkin telah lebih dulu melapor dan menceritakan apa yang terjadi sesuai versinya. Dadang sungguh merasa telah tertinggal satu langkah.
Jaya yang sedari tadi memperhatikan ekspresi Dadang juga Esih lantas menghela napas berat. “Sepertinya Bapak dan Ibu sekalian sudah tahu maksud kedatangan saya. Jadi, langsung saja,” ujarnya dengan nada bicara yang lebih tegas dari sebelumnya. Senyum ramah serta tatapan hangat yang sempat ia pasang di wajah kini tidak lagi terlihat. “Kemarin saya mendengar berita yang tidak mengenakkan dari warga sini yang kebetulan sedang berjalan-jalan di desa dekat Pantai Sawarga. Katanya, Bapak dan Nia mengunjungi Unit PPA Satreskrim Polres Sukabwana?”
Dadang menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ia tidak boleh merasa terintimidasi. “Siapa yang lapor, Pak? Kerabatnya Jalu?” tanya pria itu sinis. “Dia benar. Saya memang membawa anak saya ke sana untuk mendapatkan bantuan karena saya pikir tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan untuknya. Apa saya salah?”
“Tentu tidak, Pak.” Dalam situasi seperti ini, Jaya masih bisa terkekeh. Sikapnya yang seperti itu membuat amarah Dadang semakin meradang. “Mohon jangan terbawa emosi dulu. Sebagai pemimpin, tentu saya harus mendengarkan setiap keluhan yang disampaikan warga.”
“Omong kosong.” Dadang menggerutu di dalam hati. Dirinya merasa muak melihat Jaya yang bersikap selayaknya pemimpin hanya di situasi tertentu. Akal sehat merupakan satu-satunya hal yang menahannya untuk tidak mengamuk saat ini juga.
“Mereka hanya khawatir,” lanjut Jaya tanpa memedulikan Dadang yang jelas tidak ingin membicarakan hal ini. “Sepertinya, mereka pikir tindakan Bapak akan mengusik kedamaian desa ini.”