Berkali-kali Nia menggaruk ujung-ujung jarinya hingga penuh luka lecet. Bibirnya yang kering banyak mengelupas karena digigit. Gadis itu juga terus mengentak kaki di atas lantai, suara yang ditimbulkan tidak beraturan dan mendengarnya justru membuatnya semakin tidak nyaman. Namun, entah kenapa Nia tidak bisa berhenti melakukannya.
Sejak kemarin, Nia terus bertanya kepada orang tuanya mengenai apa yang akan terjadi kepadanya hari ini dan apa yang harus ia persiapkan. Sayangnya, baik Esih maupun Dadang tidak ada yang tahu seperti apa terapi psikologis atau psikoterapi itu. Mereka hanya tahu bahwa psikoterapi adalah semacam metode pengobatan yang tidak memakai obat-obatan, tetapi mampu menyembuhkan luka hati Nia. Semakin dipikirkan hanya membuat keluarganya semakin pusing, akhirnya Nia mencoba tidak memikirkannya hingga waktunya tiba.
Nia tidak membawa apa pun saat ia menemui seorang wanita yang katanya bisa membantunya. Hanya lengan Dadang yang terus ia rangkul. Tidak terlalu erat, tetapi cukup membuatnya merasa aman. Setiap kali wanita di hadapannya bertanya, Nia akan menatap Dadang sebelum menjawab sambil menundukkan kepala.
“Tidak ada yang perlu Nia takutkan.” Wanita asing berpenampilan rapi itu terus mencoba meyakinkan Nia. “Relaks saja. Saya hanya ingin berbincang dengan Nia.”
Nia menganggukkan kepala. Tanpa diperintah ia langsung menarik napas panjang dan membuangnya pelan-pelan sambil berhitung di dalam hati. Bisa ia rasakan tubuhnya menjadi sedikit lebih ringan. Ia bahkan telah melepaskan lengan Dadang sepenuhnya dan duduk dengan tegap.
Dadang memalingkan wajah sebelum menatap sang anak. Rahangnya tampak mengeras sebelum berbicara. “Abah tunggu di luar, ya.” Suara Dadang terdengar serak. “Nia tenang saja, Abah bakal tunggu tepat di depan pintu keluar.”
Nia sedikit ragu-ragu. Kehadiran sang ayah di sisinya menjadi salah satu alasan ia bisa bersikap lebih tenang. Namun, setelah melihat mata ayahnya yang berkaca-kaca, gadis itu akhirnya kembali mengangguk.
Setelah sosok Dadang pergi, Nia sangat merasakan kekosongan di sampingnya. Tubuhnya pun bergidik kedinginan. Awalnya, ia menyangka bahwa suhu penyejuk udara di ruangan itu terlalu rendah, tetapi kemudian ia sadar bahwa tubuhnya juga berkeringat. Rupanya masalahnya bukan ada pada suhu ruangan.
“Baik. Kalau begitu, saya akan memperkenalkan diri saya sekali lagi.” Wanita di depannya tiba-tiba kembali bicara, tetapi pembawaannya yang lembut dan ramah membuat Nia tidak merasa terkejut sama sekali. “Nama saya Gita Gantari. Hari ini saya hanya ingin berkenalan dengan Nia dan menanyakan beberapa pertanyaan. Tapi Nia tidak perlu merasa takut atau terbebani. Kalau ada pertanyaan yang Nia tidak mau jawab, tidak apa-apa.”
Nia membuka mulut untuk menjawab, tetapi kemudian merasa ragu. Pada akhirnya ia hanya menutupnya kembali.
Sesuai perkataannya, Gita sama sekali tidak memaksa Nia untuk bicara. Wanita berlesung pipit itu hanya tersenyum lalu membaca berkas di tangannya sebelum mulai bertanya. “Bagaimana perasaan Nia hari ini? Ada yang ingin Nia ceritakan kepada saya?”
Pertanyaan itu begitu asing di telinga. Seumur hidup, Nia tidak pernah mendengar ada seseorang yang menanyakan perasaannya. Mungkin itu karena Nia selalu tampil energik dan penuh senyum, semua orang otomatis akan menduga bahwa ia sedang berada dalam suasana hati terbaik. Nia sendiri tidak pernah mempermasalahkannya, berpikir bahwa memang apa yang sesungguhnya ia rasakan tidak perlu diketahui orang lain.
Sampai akhirnya ia merasakan kengerian luar biasa di hari itu. Hari di mana sesuatu yang membuat dunianya langsung berubah drastis terjadi. Untuk pertama kalinya Nia jatuh ke jurang keputusasaan yang dalam, yang mengurungnya dari segala sisi dengan dinding-dinding hitam yang tinggi. Ia berteriak minta tolong tetapi suaranya tidak mampu menjangkau permukaan, karena pada kenyataannya, mulutnya tetap bungkam. Terlalu takut untuk mengatakan apa pun kepada siapa pun. Semua teriakannya tertelan jauh melewati kerongkongan.