Esih merasa aneh melihat sosok Dadang di layar televisi, suaminya itu jadi terlihat sedikit lebih berisi dari yang sebenarnya. Wajahnya yang cukup rupawan juga tidak tampak menarik, Esih menduga itu karena suaminya tengah berpikir keras saat diwawancara para wartawan.
Di luar dugaan, Dadang menjawab setiap pertanyaan dengan lancar, belum pernah Esih melihat suaminya berbicara dengan penuh ketegasan seperti itu. Rasa bangga langsung mengisi penuh dadanya. Dadang tidak hanya asal bicara, suaminya itu benar-benar mengerahkan seluruh daya dan upaya demi Nia.
Tampilan layar dengan cepat berubah, rupanya wawancara Dadang hanya berlangsung singkat, atau mungkin ucapan pria itu banyak yang dipotong. Esih tidak sempat menanyakan kebenarannya karena kemudian ia kembali dibuat terpaku ke layar kaca oleh ucapan pria yang diperkenalkan sebagai Kepala Unit PPA.
“Gelar perkara sudah dilakukan, untuk selanjutnya kami akan melakukan tahapan-tahapan penyidikan seperti pemeriksaan saksi-saksi dan pengumpulan keterangan korban guna menentukan tersangkanya.”
“Kenapa lama sekali untuk mereka menentukan Jalu sebagai pelaku? Nia jelas-jelas sudah menceritakan semuanya!” protes Esih yang seketika tersulut emosi. “Wajah Akang juga sudah terpampang jelas di televisi, semua orang yang mengenal kita tahu bahwa Akang hanya memiliki satu anak, yaitu Nia. Identitas Nia sebagai korban tersebar begitu saja, tapi tersangkanya masih belum diumumkan dengan tegas? Harus setersiksa apa lagi Nia agar mereka cepat memenjarakan Jalu?!”
Masih terbayang dengan jelas, setelah peristiwa nahas itu, Nia berubah menjadi seorang penyendiri. Putrinya menolak berangkat ke sekolah meski waktu dispensasi sudah lama habis. Pada saat itu Nia juga akan segera menjalani karantina di pemilihan Putri Sawarga, seharusnya gadis itu bersemangat pergi ke sekolah untuk menyelesaikan seluruh urusan pendidikannya terlebih dahulu.
Mulanya Esih tidak merasa ada yang janggal, sampai akhirnya sang anak menyatakan mundur dari kompetisi, menjadikan lelah dan rasa tidak percaya diri sebagai alasan. Esih yang tidak tega hanya bisa menghormati keputusan sang anak, sedikit bersyukur karena Nia tidak memaksakan diri melakukan hal yang menyiksa dirinya. Nyatanya, alasan Nia yang sesungguhnya jauh lebih besar dari itu.
Layar televisi kembali menampilkan pria lain, kali ini giliran kuasa hukum terduga pelaku yang berbicara. “Kami belum bisa mengatakan apa pun karena ingin menghargai pihak kepolisian yang masih melakukan penyidikan—”
Sigap Dadang mematikan televisi setelah melihat Esih semakin gelisah. “Jangan ditonton lagi, cuma bikin urat di kepala kita semakin tegang,” cetusnya. “Lebih baik Eneng istirahat. Nanti malam kita masih akan bergantian menjaga Nia.”
Esih menggelengkan kepala. Susah payah ia menahan semua amarah di dalam dada karena merasa iba melihat suaminya yang tampak lemas. “Eneng belum siapin apa-apa buat makan malam. Akang saja yang istirahat. Sekadar berbaring juga lumayan, Akang pasti sudah kelelahan.”
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Dadang mengangguk dan pergi ke kamar. Kebetulan sekali seluruh ototnya mendadak terasa ngilu. Ingin ia meminta Esih untuk kembali memijatnya, tetapi tidak tega mengingat Esih juga sudah berbaik hati menyiapkan makan malam meskipun kondisinya juga sedang tidak baik-baik saja.
Di sisi lain, Esih belum juga beranjak ke dapur. Pikirannya kembali berkelana ke sana kemari. Rasa cemas tengah menyerangnya saat ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Sangat pelan, ia hampir melewatkannya. Seolah-olah seseorang yang mengetuk tidak benar-benar ingin mengumumkan kehadirannya.
Terburu-buru Esih berjalan dan membuka pintu, seorang gadis remaja di balik pintu itu sampai tersentak karena terkejut. “Oh, maaf. Siapa, ya?”
Gadis berkulit sawo matang itu membungkuk sekilas. “Saya Indri, Bu.”
“Oalah, Indri! Ibu pangling karena kamu sudah lama gak main ke sini.” Esih menyahut dengan antusias sambil melihat ke sekitar. Rupanya Indri datang seorang diri. “Sini, masuk! Kenapa sore begini datangnya, atuh? Jalanan sudah sepi, gimana kalau ada orang jahat?”