Indri tidak pernah percaya bahwa Kamania adalah gadis kelahiran asli Sukabwana yang seusia dengannya. Nia terlihat begitu cantik dan menawan dengan kulit putih, layaknya perempuan blasteran. Sama sekali berbeda dengan gadis-gadis Sukabwana lainnya yang berkulit kuning langsat atau sawo matang. Bahkan setiap kali mereka menghabiskan waktu di pantai, kulit Nia hanya akan memerah karena kepanasan dan kembali ke warna semula tanpa menghitam. Setidaknya, di mata Indri, kecantikan Nia tidak pernah terganggu oleh apa pun.
Dengan pembawaan anggun dan otak yang cerdas, dengan mudahnya Nia menjadikan banyak orang sebagai temannya. Tentu saja Indri adalah salah satunya, yang kemudian selalu setia berada di samping Nia. Ikut Ajang Pemilihan Putri Sawarga pun mereka bersama-sama. Seandainya wajah mereka sedikit mirip, mungkin orang-orang akan menyangka bahwa mereka saudara kandung yang tidak terpisahkan.
Indri cukup tahu diri. Dibanding Nia, dirinya bukan apa-apa. Tinggi tubuhnya bahkan hanya mencapai rahang sang sahabat. Setiap kali mereka bepergian, Indri tidak berani untuk melirik setiap pemuda tampan yang mereka lewati, sebab biasanya mereka hanya akan menatap Nia. Dengan tidak berharap apa-apa, Indri mampu menghindari rasa sakit hati yang tidak perlu.
Hanya satu kali Indri membiarkan dirinya lengah. Itu pun karena Jalu lebih dulu menyapanya. Tanpa sadar kedua mata Indri terkunci dan hanya bisa menatap pemuda itu.
“Kalau butuh minum, minta saja ke ruang panitia, ya.” Jalu terus mengatakan kalimat itu kepada para peserta ajang pemilihan Putri Sawarga. Khusus kepada Indri, ia mengatakannya sambil mengedipkan satu mata. “Hai! Tumben sendirian?”
“Temanku lagi ke toilet.” Indri menjawab dengan sedikit gagap. “Mungkin dia gugup karena nama-nama peserta yang lolos menjadi finalis akan diumumkan sebentar lagi.”
“Oh, oke. Good luck, ya, buat kalian.”
Sama seperti interaksi mereka yang lainnya, kali ini pun berakhir singkat. Namun, rasa geli di dada Indri tidak kunjung pergi sampai ia bertemu kembali dengan Jalu di pesta perayaan. Indri begitu menikmati setiap detiknya. Ia sama sekali tidak berusaha memusnahkannya karena mengira Jalu pun pasti merasakan hal yang sama. Kalau tidak, mengapa pemuda itu selalu berusaha mencari topik hanya untuk berbicara dengan Indri?
Sayang sekali, seketika perasaan manis yang bahkan belum sepenuhnya berkembang di hati Indri harus hancur lebur setelah ia melihat bagaimana Jalu menatap Nia. Pemuda itu hampir tidak mengatakan apa pun kepada Indri karena terlalu sibuk menggoda Nia. Seluruh fokusnya tampak terkunci sampai tidak bisa terbagi dengan yang lain.
Setelah dipikir-pikir, selama ini Jalu memang selalu menanyakan keberadaan Nia kepada Indri meskipun tidak secara gamblang. Indri sendiri yang dengan bodohnya menafsirkan perilaku Jalu sebagai ketertarikan. Indri sendiri yang tenggelam dalam impian romansanya hingga tidak mampu melihat kenyataan.
“Nia di mana? Tadi kutinggal bentar, balik lagi udah gak ada.”
Indri hampir mendengkus saat Jalu lagi-lagi mencari Nia setelah Indri sengaja menjauh dari dua sejoli itu. Dengan segenap pengendalian diri, Indri mencoba untuk tetap tersenyum. “Mungkin dia sudah pulang, Kak. Dia memang gak terlalu suka lama-lama di pesta kayak gini.”
“Yah, sayang banget,” keluh Jalu sambil menghela napas, tetapi kemudian ia menatap Indri penuh harap.
Mata Indri mengerjap. “Apa? Riasan aku aneh, ya?”
“Nggak, kok.” Selangkah demi selangkah, Jalu mendekati Indri. Keramaian pesta seketika tidak lagi terdengar di antara mereka berdua yang berdiri terlalu dekat. “Aku cuma … kepikiran sesuatu.”
Mendadak Indri menahan napas. Wangi parfum menyengat yang dikenakan Jalu hampir membuatnya mabuk kepayang. “Kepikiran apa?”
“Kalau aku minta tolong, kamu bakal bantuin aku, kan?”