Memeluk Gelombang

Edelmira (Elmira Rahma)
Chapter #12

Siapa yang Paling Malang?

Indri masih berdiri terpaku, kali ini di depan pintu rumahnya sendiri. Pikirannya terlalu kalut untuk merasa takut akan apa pun yang akan menyambutnya di balik pintu itu, tetapi kakinya tetap enggan melangkah maju. Pipinya yang masih sedikit ngilu dan berdenyut membuat seluruh saraf di tubuhnya berteriak untuk pergi sejauh mungkin dari sana.

Masih terngiang-ngiang di telinga Indri bagaimana suara Esih terdengar menyakitkan saat wanita itu mengajukan pertanyaan demi pertanyaan kepadanya. Ibu dari Nia itu pasti sangat menyayangi dan mengkhawatirkan Nia hingga tidak mampu membendung perasaannya di depan Indri. Mau tidak mau Indri jadi bertanya-tanya, apa memang seperti itu sifat orang tua yang sejati?

“Ngapain kamu ngelamun di situ?” Suara seorang wanita mengagetkan Indri. Gadis itu menoleh dan mendapati ibunya sedang duduk di atas kursi bambu. “Masuklah sebelum bapakmu mengamuk.”

Wajah Indri merengut. “Emak sendiri kenapa di sini? Sebentar lagi malam, di luar dingin.”

Mimin mengangkat sebuah sapu yang sedari tadi dipegangnya. “Kalau bukan karena Emak, kalian akan tenggelam dalam debu dan pasir. Rumah ini gersang sekali, debunya gak habis-habis! Kapan hujan datang?”

Ingin sekali Indri tertawa. Sang ibu adalah wanita yang percaya akan mitos, tidak mungkin ibunya mau menyapu malam-malam. Alasan sesungguhnya dari perilaku aneh sang ibu pasti melibatkan ayahnya yang mungkin masih ada dalam suasana hati yang buruk.

Setiap kali suasana di keluarga mereka memanas, Mimin akan berkeliaran di luar rumah dan menghabiskan waktu bersama tetangga. Jika waktunya tidak memungkinkan, seperti hari sudah terlalu sore atau bahkan malam, Mimin akan berdiam di teras dan menunggu siapa pun lewat. Tidak peduli kenal dekat atau tidak, Mimin akan mengajak bicara orang itu hingga yang bersangkutan muak dan mengarang alasan untuk pergi.

Setelah menginjak usia remaja, Indri mulai mengerti bahwa itu adalah cara sang ibu menenangkan diri, tetapi mau tidak mau ia merasa kesal. Amarah sang ayah tidak ada habisnya setiap hari, maka jarang sekali Mimin berada di rumah. Alhasil, Indri bersama kedua kakak lelakinya tidak mendapat perhatian yang cukup dari orang tua mereka.

“Di dalam cuma ada Bapak, ya?” tanya Indri begitu ingat bahwa kakak-kakaknya sangat senang menghabiskan waktu di luar lalu pulang menjelang dini hari. “Masuk, yuk, Mak.”

“Emak mau di sini sebentar lagi,” tolak Mimin. “Kamu duluan saja.”

Indri menghela napas panjang. Ibunya itu sungguh tidak berperasaan. Pagi ini, Mimin melihat sendiri bagaimana suaminya, Suganda, memukuli Indri. Namun, bukannya khawatir, Mimin malah memikirkan kenyamanannya sendiri.

Kalau dipikir-pikir, hidup Indri sungguh malang. Sepanjang hidup, ia terus berusaha bertahan di tengah keluarganya yang kacau. Ia mulai melihat adanya harapan saat ia lolos tahap seleksi pemilihan Putri Sawarga. Satu keberhasilan itu membuatnya berani untuk bermimpi lebih tinggi. Jika ia sampai berhasil menjadi gadis yang mewakili Pantai Sawarga, yang dihormati dan dikagumi oleh banyak orang, mungkin ayah dan ibunya bahkan kakak-kakaknya akan sedikit lebih memperhatikannya.

Lihat selengkapnya