“Ambu mana?” Nia bertanya saat mendapati hanya ada ayahnya di meja makan. Dadang terlihat begitu menikmati menata makanan di atas meja, meskipun lauk yang tersedia hanya tempe dan tahu goreng. Untuk beberapa saat, Nia pikir ada yang salah dengan sang ayah. “Abah masak? Apa Ambu sakit?”
Dadang memasang senyum paling ceria sambil menjawab pertanyaan sang anak. “Ambu pergi bersama ibu-ibu tetangga ke pasar kaget. Abah pikir sedikit jalan-jalan bersama teman bagus untuk Ambu karena akhir-akhir ini Ambu terus merasa dijauhi orang-orang. Untunglah dugaannya terbukti salah.”
Jawaban itu justru memantik kebingungan lain di benak Nia. “Dijauhi orang-orang? Kenapa?”
Sadar bahwa ia telah salah bicara, Dadang mengunci bibirnya. Kondisi Nia memang sudah jauh membaik setelah gadis itu mau terbuka kepada psikolog yang menangani kasusnya. Akan tetapi, bukan berarti Nia akan tetap baik-baik saja jika mengetahui bahwa bukan hanya dirinya yang tengah kesulitan saat ini. Dadang khawatir sang anak akan kembali terpuruk nantinya.
“Bukan apa-apa. Kamu tahu sendiri, Ambu itu kadang-kadang terlalu sensitif. Kalau warung tetangga lupa memberi bingkisan di saat lebaran pun Ambu akan mengira kalau Ambu sudah berbuat salah.” Otak Dadang berhasil mengarang alasan. Apalagi, ia tidak sembarangan mengarang. Kurang lebih sifat Esih memang seperti itu. “Sini, makan dulu. Gak perlu pikirin Ambu, Ambu pasti lagi jajan bersama ibu-ibu lain sekarang.”
Nia mengulum bibirnya ragu-ragu. Sudah lama sejak terakhir ia sarapan tepat waktu, ia tidak yakin bisa menelan makanan apa pun saat ini. Tubuhnya memang sudah tidak terasa lemas seperti sebelumnya, tetapi mual masih bersarang di ujung tenggorokan. Ingin sekali ia menolak ajakan Dadang.
Menyadari anaknya terlihat enggan, Dadang tersenyum tipis. “Makan sedikit saja. Abah ambilin, ya. Mau pakai kecap?” Cekatan pria itu menyendok nasi dan lauk. Dalam sekejap, ia sudah menghampiri Nia dengan membawa menu sarapan sang anak.
Nia tersentak, ia segera mundur beberapa langkah, membuat bukan hanya Dadang yang terkejut, tetapi juga dirinya sendiri. Nia menyentuh dadanya, detak jantung yang cepat terasa cukup jelas di telapak tangannya. Ekspresi gadis itu berubah panik setelah menyadari bahwa ia baru saja menghindari ayahnya sendiri.
Merasa bersalah, Nia memaksakan diri untuk mengambil sarapannya dari tangan Dadang lalu duduk di meja makan. Ia melahap sesendok nasi tanpa repot-repot menyertakan sepotong lauk. Terlalu terburu-buru membuatnya tersedak. Kali ini Dadang memberinya segelas air dari jarak yang cukup.
“Tidak apa-apa, Nia. Pelan-pelan saja,” ujar Dadang lembut. Ia sama sekali tidak merasa tersinggung dengan sikap Nia. Kurang lebih ia sudah diperingatkan oleh psikolog tentang berbagai gejala yang mungkin masih akan ditunjukkan Nia.
“Setelah ini kita jalan-jalan.” Dadang menikmati sarapannya sambil sesekali mengisi keheningan di antara mereka berdua. “Beberapa bulan lalu, kamu baru beli sepatu olahraga, kan?”
Nia mengangguk meskipun ia sedikit tidak mengerti maksud sang ayah menanyakan hal itu. Apa mungkin sang ayah akan mengajaknya untuk membeli barang lain? Pada akhirnya Nia tidak menanyakan apa-apa dan hanya fokus menghabiskan makanan di piringnya.
Mungkin jauh di dalam hati, Nia sedikit mengharapkan acara jalan-jalan yang Dadang janjikan. Oleh karena itu, ia merasa cukup kecewa setelah melihat Dadang keluar dari kamar mengenakan setelan olahraga. Ayahnya itu terlihat begitu ceria dibandingkan beberapa saat lalu.
“Kamu juga pakai baju yang nyaman,” titah Dadang sambil meregangkan badan, tidak lupa ia berjalan di tempat sambil sedikit melompat. “Mumpung udara di luar masih segar, kita bisa jogging keliling desa.”
“Gak mau!” tolak Nia tegas, hampir sedikit berteriak. Ia mungkin bersikap tidak sopan dengan menolak permintaan ayahnya yang hanya menginginkan yang terbaik untuknya, tetapi bayangan dirinya berlari melewati rumah-rumah warga dan berpapasan dengan orang-orang seketika membuat kepalanya pening. “Kalau Abah mau jogging, pergi saja. Nia tidak apa-apa sendirian di rumah. Sebentar lagi Ambu pasti pulang.”
Dadang mengerucutkan bibirnya, ia bersikap seperti anak-anak yang tengah merajuk. “Mana seru kalau sendirian. Kalau kamu gak mau, batal saja.”