Memeluk Gelombang

Edelmira (Elmira Rahma)
Chapter #14

Perjuangan

Di antara suara-suara mesin dan alat berat yang bersahutan, Dadang mengusap peluh yang tidak henti-henti mengalir dari pelipis. Hari ini Dadang lupa membawa handuk, alhasil lengannya yang menjadi alat pengganti meskipun sama sekali tidak memadai. Ia menghela napas panjang, bekerja memang selalu terasa berat, tetapi kali ini ia benar-benar merasa kecapaian. Seolah seluruh energinya terkuras bersamaan dengan setiap tetes keringat.

Dadang hendak berjongkok sebentar untuk mengistirahatkan kakinya yang hampir mati rasa karena berdiri terlalu lama, tetapi ia urung melakukannya setelah melihat kepala seksi produksi tengah berjalan ke arahnya dari kejauhan. Terburu-buru Dadang kembali berlagak layaknya pekerja yang sangat berdedikasi. Sengaja dikerutkannya kening saat ia memeriksa apakah bahan-bahan baku di dalam mesin pencampur besar di hadapannya sudah teraduk secara merata.

Meski disebut sebagai mesin pencampur atau mixer, layaknya alat yang biasa digunakan untuk mengaduk bahan kue, mesin di hadapan Dadang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan itu. Ukurannya yang lebih besar berkali-kali lipat terlihat seperti baling-baling helikopter. ‘Mangkuk’ yang menjadi wadah pencampuran dibuat lebih rendah dari permukaan lantai pabrik, dari jarak jauh terlihat seperti sebuah sumur.

Terdapat rangkaian besi besar di bagian atas yang menggerakkan baling-baling sekaligus mencegah adanya barang atau orang masuk ke dalamnya. Akan tetapi, tetap saja Dadang merasa ngeri setiap kali berdiri di dekat mesin itu. Sedikit saja ia oleng atau terpeleset ke dalam, tubuhnya akan segera menyatu dengan pasir, gipsum, dan bahan-bahan pembuatan bata ringan lainnya.

“Bagaimana menurutmu? Sudah tercampur rata?” tanya kepala seksi produksi sambil menghentikan alat pencampur lalu mengambil sedikit bahan dari dalamnya untuk diukur dengan timbangan neraca. Belum sempat Dadang menjawab, dirinya sudah mengangguk-anggukkan kepala. “Kurasa bahan-bahan ini sudah bisa dialirkan ke mixer terakhir.”

Dadang menarik napas lega. Mixer terakhir adalah tempat penampungan bahan-bahan yang sudah sesuai dengan takaran. Bahan campuran itu kini hanya tinggal menunggu proses selanjutnya. Itu artinya, Dadang berhasil melakukan tugasnya tanpa kesalahan.

Masih ada tugas lain yang harus dikerjakan, Dadang meneguk sebotol air minum yang sebelumnya ia simpan begitu saja di atas lantai. Ia berniat untuk istirahat sebentar sebelum kembali bertugas. Tidak lupa ia juga mengecek ponselnya yang sedari tadi bergetar di dalam saku.

Deretan notifikasi pesan dari Nia menghiasi layar ponselnya. Dadang membacanya sekilas, sepertinya putrinya yang mulai beranjak remaja sangat bersemangat menceritakan proses persiapannya sebelum daftar sebuah kompetisi putri-putrian. Dadang mengeklik notifikasi itu dan mendapati Nia juga mengirimkan beberapa foto.

Kedua ibu jari Dadang sudah siap mengetik pesan balasan, tetapi seketika ia terdiam melihat waktu yang tertera di bawah pesan terakhir Nia. Sudah hampir tiga jam berlalu, rupanya selama itu Dadang tidak memeriksa ponselnya. Mendadak ia merasa ragu.

“Bukankah terlalu terlambat kalau dibalas sekarang?” pikirnya. Ia mungkin akan berpikir lebih lama kalau saja sang atasan tidak mengingatkannya untuk kembali fokus bekerja.

“Tetap waspada! Jangan lengah!” tegur kepala seksi produksi. “Sudah berapa banyak pekerja yang hampir celaka karena melamun saat mengoperasikan alat berat! Kalau sampai terjadi apa-apa, siapa yang disalahkan?”

Dadang hanya bisa mengangguk sambil sedikit menunduk. Atasannya itu mungkin tidak akan berhenti bicara dalam waktu dekat.

Jumlah otot di seluruh tubuh Dadang seolah berkurang drastis saat tiba untuknya pulang. Kedua kakinya sedikit bergetar saat berjalan, layaknya puding yang bergoyang di atas piring. Bayang-bayang akan matras tipisnya di mes sangat terasa menggoda, tetapi Dadang tahu bahwa tidak ada waktu untuknya berbaring. Jadwal yang ia miliki di sisa hari ini cukup banyak, sama seperti hari-hari kemarin.

Lihat selengkapnya