Kurang lebih satu bulan berlalu sejak Dadang mengajukan pengaduan, Jalu akhirnya menyandang gelar sebagai tersangka dan resmi ditahan. Dadang cukup puas dengan kemajuan penyidikan, ia tidak lagi menjawab dengan berapi-api setiap kali ada wartawan yang mewawancarai, apalagi jumlah wartawan yang mencarinya telah jauh berkurang. Dadang pikir kasus Nia tidak akan lagi banyak diperbincangkan, tetapi nyatanya, kasus ini masih sering ditayangkan di televisi meski arah pembahasannya sedikit berbeda.
Para pewarta tidak lagi berfokus kepada pihak korban serta dampak negatif yang muncul dari tindak asusila, tetapi lebih condong kepada efek sosial yang ditimbulkan. Para pejabat desa Sukabwana wara-wiri di layar televisi, menghadiri wawancara di sana-sini. Dengan gagahnya mereka berkata bahwa aksi yang telah dilakukan oknum panitia penyelenggara Ajang Pemilihan Putri Sawarga alias Jalu tidak hanya melecehkan martabat perempuan, tetapi juga melecehkan tradisi turun-temurun yang dijaga oleh masyarakat pesisir Sawarga. Kemarahan mereka terlihat begitu nyata, sampai Dadang hampir memercayai mereka.
“Oknum tersebut tidak punya etika, tidak beradab, dan tidak paham tradisi!” Jaya, pejabat desa yang sangat keluarga Nia kenal, bicara dengan berapi-api. Dengan memakai setelan jas rapi serta tatanan rambut yang terlihat basah, jelas sekali Jaya sudah susah payah berdandan sebelum diwawancara. “Pemilihan Putri Sawarga itu sangat sakral bagi kami! Susah payah kami bekerja sama untuk menjaga tradisi ini, tapi oleh oknum malah dicoreng namanya seperti ini! Bisa-bisa satu daerah kena tulah!” pungkasnya dengan satu jari telunjuk mengarah ke atas.
Esih yang tengah sibuk mengulek cabai sambil berlesehan di depan televisi langsung mendengkus. “Bukannya mereka yang tadinya mencegah masalah ini masuk berita, Kang? Pak Jaya sampai jauh-jauh kemari untuk memperingatkan kita,” omelnya dengan ketus. Saking kesalnya, ia sampai menekan ulek terlalu keras ke atas cobek, suaranya membuat Dadang sedikit tersentak.
“Mungkin awalnya mereka ingin masalah ini selesai diam-diam, tapi karena media sudah terlanjur terlibat, mereka akhirnya tampil membela daerah kita.” Dadang menanggapi dengan tenang, ia tidak ingin memperkeruh suasana hati sang istri meskipun kenyataannya, Dadang ingin sekali melontarkan sumpah serapah saat ini. “Kita tidak tahu seberapa besar beban yang dipikul seorang pemimpin, Neng,” tambahnya lagi, masih berusaha bijak.
Tidak tertipu oleh sikap pura-pura sang suami, Esih lantas menyudahi aktivitasnya lalu menatap Dadang tajam. “Apa Akang sanggup mengatakan itu di depan Nia?”
Dadang seakan tercekik mendengar pertanyaan itu, rasa bersalah langsung mengguyur tubuhnya dengan deras. Seketika ia tersadar bahwa bukan saatnya ia membela Jaya dan jajarannya saat ini. Nia masih menderita, hukuman Jalu pun belum ditetapkan berapa lama. Bisa saja pemuda itu tidak mendapat hukuman yang sama beratnya dengan kejahatan yang dilakukan.
Kebersamaannya dengan Nia belakangan ini membuat Dadang terlena hingga melupakan fakta bahwa Nia belum bisa pergi ke luar rumah tanpa didampingi oleh Dadang ataupun Esih. Gadis itu juga tidak kunjung menyentuh ponselnya meski banyak pesan datang dari teman-temannya di sekolah. Perilaku Nia tersebut sungguh berbanding terbalik dengan sikapnya sebelum tragedi yang selalu bersenang-senang bersama teman-teman.
Hanya Indri satu-satunya gadis yang sering datang ke rumah. Setelah Jalu dinyatakan sebagai pelaku tunggal, Indri bebas sepenuhnya dari tuduhan. Hal itu membuatnya berani untuk terus mencoba menemui Nia guna meminta maaf. Meskipun belum bisa mempertemukan Indri dengan Nia, Esih yang tersentuh hatinya akhirnya membuka lebar pintu rumah setiap kali Indri datang, Dadang bahkan turut dipaksanya untuk ikut bersikap ramah kepada sang gadis.
“Anak itu sungguh malang. Kalau saja Eneng tidak buta oleh kepanikan saat pertama kali Indri kemari, mungkin Eneng justru akan memeluknya daripada menyudutkannya,” cerita Esih saat Dadang menanyakan tentang Indri. “Bukan cuma Nia, teman-temannya pun pasti sedang mengalami banyak masalah dalam hidup, meskipun bentuk dan bebannya berbeda satu sama lain. Sebagai orang dewasa, kita seharusnya menjadi pendukung yang baik.”
Setelah mengatakan itu, Esih kembali fokus kepada ulek dan cobeknya sambil memasukkan beberapa bahan yang sudah disiapkan dalam mangkuk kecil. Setelah menambahkan sedikit air, aroma khas dari bumbu kacang yang disiapkannya langsung menguar di udara, mengundang perut lapar Dadang yang langsung berbunyi.
Esih terkekeh. “Eneng lagi buat cilok yang banyak, sebagian buat kiriman ke rumah Indri. Gak tenang rasanya hati Eneng kalau belum ke sana.”
Dadang mengangguk paham. “Perlu Akang antar?”