Nia menyentuh sampul majalah di hadapannya pelan-pelan. Kertas yang berkilau itu terasa lembut dan sedikit licin di telapak tangannya. Seolah-olah sebelumnya kertas itu telah diampelas beberapa kali dan dioles dengan semacam minyak khusus. Begitu membuka halaman secara acak, ia disambut oleh sebuah artikel yang cukup panjang. Setiap tulisan di artikel itu berjajar rapi di samping foto seorang gadis. Sang gadis bergaya bak model dengan mengenakan kebaya tradisional lengkap dengan selempang yang memamerkan gelarnya saat ini. Wajah gadis itu terlihat familier sekaligus asing. Nia selalu tahu kalau riasan dapat membuat penampilan seseorang berubah, tetapi ia tidak menyangka bahwa riasan juga mengubah aura seseorang menjadi lebih bersinar dan terlihat penuh percaya diri.
“Lihat itu! Betapa berseri-seri wajahnya,” komentar Indri yang tengkurap sambil memangku dagu di samping Nia. “Apa dia benar Rosma yang kita kenal? Dia benar-benar terlihat dewasa dan menawan di artikel itu.”
Nia masih diam, ia sungguh tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Pasalnya, di dalam hatinya kini bercampur berbagai perasaan: bangga, kagum, sedih, sesal, dan iri. Sudah seharusnya ia bahagia melihat Rosma berhasil terpilih menjadi Putri Sawarga dan membawa gelar itu ke setiap acara yang dihadiri. Meskipun baru mengenal Rosma sebentar, ia tetap merasa dekat dengan gadis itu karena sempat berinteraksi dengannya beberapa kali saat masa seleksi. Namun, di sisi lain, Nia masih membayangkan bagaimana jika dirinya yang berada di posisi Rosma. Banyak orang akan mengenalinya dan mengagumi sosoknya yang terlihat bercahaya di setiap foto yang dipajang di berbagai artikel. Pasti kebahagiaannya tidak akan bisa diukur oleh alat ukur apa pun.
Kalau saja Nia tidak harus mundur dari kompetisi, kalau saja dirinya tidak pernah dijebak oleh Jalu di salah satu kamar Hotel Samudra, dan kalau saja ia memiliki mental yang lebih kuat dalam menghadapi kejadian seburuk apa pun, apa kisah hidupnya akan berbeda? Sampai saat ini, Nia tidak pernah berhenti menyalahkan dirinya yang telah bersikap terlalu bersahabat kepada Jalu sejak pertama pemuda itu menghubunginya. Seandainya Nia lebih menjaga harga dirinya sebagai seorang gadis, seandainya ….
“Sudah cukup!” Indri menarik majalah dari tangan Nia, tetapi Nia menahannya sekuat tenaga. Indri lantas bangkit dan duduk berhadapan dengan temannya itu. “Aku tidak membawa majalah ini untuk membuatmu murung! Maafkan aku, aku hanya tidak tahu bagaimana cara menghiburmu. Kamu mau bertemu denganku setelah sekian lama menghindar, kupikir aku tidak bisa datang dengan tangan kosong. Hanya majalah ini yang terpikir olehku. Mungkin seharusnya aku mencuri banyak camilan dari kamar kakak-kakakku saja.”
Dengan napas berat, Indri menahan kesedihan sekuat tenaga. Pagi ini ia telah berlari ke rumah Nia tanpa terlebih dahulu memberitahu siapa pun bahwa ia akan membolos sekolah demi berkunjung ke rumah sahabatnya itu. Padahal sebentar lagi akan ada perayaan kemerdekaan di sekolahnya, biasanya Indri sangat bersemangat untuk menjadi panitia persiapan, bahkan di saat dirinya telah berada di kelas 3 SMA. Baginya acara-acara seperti itu adalah salah satu kesempatannya untuk bersenang-senang. Akan tetapi, ia lebih memilih untuk berada di samping Nia daripada berada di antara keramaian yang tidak lagi membuatnya nyaman.
Meski sebagian besar rasa bersalahnya sudah menghilang digantikan oleh rasa iba terhadap diri sendiri, masih ada tersisa sedikit penyesalannya terhadap Nia. Sebagai orang yang dekat dengan Nia bahkan sejak mereka belum bisa merias diri, Indri seharusnya memiliki kepedulian lebih kepada Nia. Di antara semua orang, Indri seharusnya menjadi salah satu sosok yang menguatkan sang sahabat. Namun, dirinya malah menghilang lalu sibuk mengurusi kesusahannya sendiri, mengabaikan Nia sepenuhnya dan baru kembali di saat suasana berangsur lebih tenang.
Menyadari hal ini, Indri mulai meragukan nilai dirinya sebagai manusia. Apa ia bahkan memiliki sisi yang bisa menyayangi seseorang dengan sepenuh hati? Hanya karena cemburu dan patah hati, Indri hampir membuang persahabatan mereka. Apa jadinya jika Nia tidak lebih dulu memintanya untuk datang? Jangankan menghabiskan waktu bersama seperti sekarang ini, mungkin mereka tidak akan pernah lagi bertegur sapa selamanya.
Nia menepuk pundak Indri pelan. “Apa yang kamu pikirkan?” Ia bertanya lalu tersenyum lebar. Senyumnya tampak cantik seperti biasa, tetapi sinar di kedua matanya masih belum kembali. Menghadiri sesi terapi psikologis beberapa kali jelas memberi dampak yang baik untuk Nia. Ia telah belajar cara mengurangi trauma pasca peristiwa nahas yang menimpanya, tetapi siapa pun bisa melihat bagaimana ia masih belum sepenuhnya terbebas dari mimpi buruk. Sangat sulit Indri mengendalikan diri agar tidak terus menatap bekas-bekas luka gores yang menghiasi lengan Nia.