Asap mengepul di depan teras rumah Dadang, dirinya dan sang istri terbatuk-batuk tetapi tidak mampu menghindar. Tetangga yang tinggal di samping kiri dan kanan rumah mereka mungkin akan segera keluar untuk meneriakkan protes, tetapi mereka sama sekali tidak memikirkan hal itu. Keduanya kini sedang berusaha untuk membuat motor bebek Dadang menyala. Lebih tepatnya, Dadang sedang terus menstarter motor kesayangannya sementara Esih membantunya dengan doa dan kata-kata semangat.
“Ayo, Kang! Coba lagi! Akang pasti bisa! Akang harus segera mencari Nia sebelum dia pergi jauh!” desak Esih kemudian setelah Dadang berhenti sebentar untuk menghela napas. Raut wajah perempuan itu terlihat sangat kusut, apalagi ia memang belum sempat menata diri. Pikirannya kini dipenuhi oleh rasa cemas. “Eneng takut Nia kenapa-kenapa. Tumben sekali dia pergi tanpa izin dulu. Apa mungkin Nia pergi sama Indri?”
“Tapi semua sandalnya ada di rak,” balas Dadang dengan sedikit ketus. Rasa khawatir terhadap Nia bercampur dengan rasa frustrasi terhadap motor miliknya. Akhir-akhir ini kendaraan roda dua tersebut terus merajuk minta dibawa ke tempat servis motor. Bukan pertama kali motor itu menolak untuk menyala. “Kira-kira Nia mau ke mana tanpa alas kaki?”
Esih justru bertambah panik mendengar itu. Ia meraih tangan Dadang dan mengguncangnya. “Kang, Eneng khawatir! Nia, kan, belum benar-benar sehat! Akang harus cepat menemukan Nia!”
Dadang mengangguk lemah, dalam hati ia terus berdoa agar anak tunggalnya baik-baik saja. Ia sungguh tidak akan mampu memaafkan dirinya jika terjadi apa-apa kepada Nia.
Pagi ini, Nia tidak ditemukan di kamarnya. Esih dan Dadang sudah mencarinya ke seluruh sudut rumah, tetapi sosok gadis itu tidak kunjung terlihat. Esih langsung dilanda banyak pikiran buruk. Bagaimana jika Nia lari dari rumah karena suatu alasan yang mungkin tidak mampu ia ceritakan kepada orang tuanya? Atau mungkin trauma dan mimpi buruk yang selama ini menyerang membuatnya menderita tidur berjalan hingga tanpa sadar pergi sendirian? Apalagi Esih mendapati pintu rumah tidak terkunci. Pikirannya lantas berkelana dengan semakin tidak karuan hingga ia memaksa Dadang untuk segera mencari Nia.
Sebenarnya, bisa saja Dadang pergi tanpa harus mengendarai motor. Nia pasti tidak bisa berjalan terlalu jauh dengan bertelanjang kaki. Akan tetapi, Dadang tidak ingin membawa Nia pulang dengan berjalan kaki, sebab anak gadisnya itu pasti akan sangat kelelahan setelah berkelana seorang diri.
Setelah berpikir sebentar, Dadang melepaskan pegangan Esih dengan lembut, lalu naik ke atas motornya. “Dari sini jalannya menurun, jadi Akang bisa meluncur saja tanpa harus menyalakan mesin. Siapa tahu nanti motornya bisa menyala.” Dadang akhirnya menawarkan solusi terakhir. Tidak ada waktu lagi untuknya memeriksa mesin motornya dengan saksama, apalagi pergi ke bengkel terdekat. Ia harus segera menjemput Nia di mana pun gadis itu berada. “Eneng tunggu di rumah, ya. Siapa tahu nanti Nia pulang. Akang bakal cari Nia di sekitar jalan menuju pantai.”
Esih hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun, tetapi dari ekspresi wajahnya, Dadang tahu istrinya itu hanya ingin ia segera pergi mencari Nia tanpa menunda lagi. Akhirnya Dadang berpamitan dan bersiap untuk pergi. Namun, belum sampai satu meter ia bergerak maju, seorang gadis muncul dari balik salah satu rumah tetangga.
“Abah mau ke mana?” tanya Nia dengan polos, salah satu tangannya menjinjing sebuah kantong plastik hitam kecil. Semerbak wangi dari camilan yang digoreng menguar di udara. Nia menatap Esih dan Dadang secara bergantian dengan mata yang terbuka lebar, ia kebingungan melihat raut wajah kusut kedua orang tuanya.
Esih mengembus napas panjang seiring tubuhnya jatuh terduduk. Tangannya mengusap-usap dada. Nia yang khawatir lantas berjalan mendekat, lalu ikut duduk di samping Esih dan menanyakan keadaannya, tetapi Esih hanya memeluk gadis itu erat-erat. Esih cium setiap jengkal wajah anaknya dengan penuh kasih sayang hingga sang anak sedikit menjauh karena risi.