Memeluk Gelombang

Edelmira (Elmira Rahma)
Chapter #18

Ombak yang Menerjang

Selama ini Nia selalu menganggap bahwa jalanan beraspal di daerah tempat tinggalnya sudah jauh lebih baik dan mulus. Tidak seperti semasa ia kecil dulu, saat itu jalan berbatu membuatnya selalu terguncang setiap kali dibonceng Dadang menuju perkotaan. Namun, pendapatnya berubah setelah kini ia merasakan langsung permukaan aspal itu di bawah telapak kakinya.

Sensasi perih membuat gadis itu meringis. Luka-luka lecet mungkin telah menghiasi telapak kakinya saat ini. Namun, ia tidak kunjung berhenti berjalan meskipun sempoyongan. Pagi-pagi sekali gadis itu pergi dari rumah, mendahului matahari yang belum sepenuhnya terbit. Padahal baru kemarin ia memicu keributan di rumahnya hanya karena pergi ke warung terdekat tanpa izin, kini ia justru bepergian lebih jauh dari itu.

Beberapa warga sekitar terlihat sudah mulai berkeliaran untuk pergi ke kebun atau tempat kerja lainnya. Mereka yang lewat dengan menggunakan motor sempat menawari Nia tumpangan tetapi langsung gadis itu tolak. Sebisa mungkin ia ingin menghindari interaksi yang tidak diperlukan sebab dirinya masih belum bisa memercayai orang lain. Meskipun sebagian besar di antaranya ia kenali sebagai tetangganya, baginya kini kehadiran semuanya terasa asing. Mereka juga mungkin akan segera melaporkan keberadaannya kepada Esih dan Dadang, membuatnya sedikit gelisah dan berjalan dengan terburu-buru hingga tersandung kakinya sendiri.

“Astaga! Eneng gak apa-apa?” Mimin yang kebetulan sedang berjalan-jalan sambil menikmati udara pagi berlari menghampiri Nia. Ia terlihat berdandan cukup rapi untuk seseorang yang keluar rumah hanya untuk berjalan santai. Dengan raut wajah cemas ia menghampiri Nia yang sekilas ia kenali sebagai teman dari anaknya.

Nia menatap wanita itu, seketika teringat bahwa Mimin memang dikenal sebagai wanita yang tidak betah berdiam di rumah. Tidak mengherankan jika dirinya berpapasan dengan Mimin. Namun, ini sungguh bukan waktu yang tepat. Nia tidak ingin berbincang dengan siapa pun sekarang meskipun hanya untuk sekadar berbasa-basi.

Tanpa menjawab pertanyaan Mimin, Nia membungkukkan badan lalu kembali melanjutkan perjalanannya. Kecepatannya sedikit meningkat, khawatir Mimin akan mengejarnya. Gadis itu terus mengabaikan rasa lelahnya dan memaksakan diri untuk berjalan cepat sampai ia benar-benar dapat memastikan bahwa Mimin tidak lagi ada di belakangnya. Ekspresi di wajahnya berubah sedikit lebih cerah setelah ia mendapati dirinya sudah dekat dengan tempat tujuan.

Rasa perih di kakinya sedikit berkurang setelah ia menginjak permukaan berpasir. Bahkan dalam suasana temaram dini hari, Pantai Sawarga masih terlihat indah layaknya surga tersembunyi. Hamparan pasir putih yang tidak terlalu mulus karena dihiasi pecahan-pecahan batu karang yang cukup besar justru terlihat sangat menawan. Ombak yang berdebur pelan serta merta menenangkan jantung Nia yang berdegup kencang karena telah bekerja terlalu keras sejak gadis itu terbangun dari tidur.

“Hah … segarnya,” gumamnya pelan. “Bagaimana mungkin aku meninggalkan semua ini?” Dengan rakus Nia menghirup sebanyak mungkin oksigen yang langsung menyejukkan rongga dadanya. Sedikit bau asin serta amis yang berasal dari ikan-ikan para nelayan yang berkumpul jauh di dermaga sama sekali tidak membuatnya terganggu. Nia justru memperhatikan para nelayan itu yang terlihat hampir seperti boneka jari di kejauhan. Semuanya terlihat sibuk menurunkan hasil tangkapan hingga tidak menghiraukan seorang gadis yang termenung sendirian di pantai.

Mual sedikit menyerang Nia, mungkin karena ia belum mengisi perut atau juga karena dirinya masih merasa takut berada di area terbuka. Namun, kini ia merasa begitu lega dan bebas, seolah-olah ia baru saja terlepas dari sebuah kubus tidak kasat mata tempatnya bersembunyi selama ini. Tanpa membuang waktu, Nia duduk berselonjor demi mencegah dirinya dari berlari menerjang ombak. Butiran pasir langsung mengotori celana panjang yang dikenakannya, tetapi Nia masih sedikit merindukan belaian air asin di kulitnya. Sayangnya, ia terlalu takut bahkan untuk sekadar merendam kakinya di air laut.

Matahari terbit dari arah lain, Pantai Sawarga tidak dapat memperlihatkan keindahan peristiwa itu sepenuhnya. Hanya saja, keramaian yang dibawa para pengunjung yang berangsur-angsur datang cukup membuat hati Nia terenyuh. Orang-orang itu terlihat begitu bahagia, seolah-olah tidak menanggung beban dan masalah. Permasalahan yang mereka pikirkan mungkin hanya apa yang akan mereka makan hari ini, dan berapa penghasilan yang bisa mereka habiskan untuk bersenang-senang. Jika lelah dan muak, mereka tinggal menghabiskan waktu dengan orang-orang tersayang. Berbeda dengan Nia yang tidak bisa sembarangan membagi sesak di dalam dada karena tidak ingin menjadi anak yang terbuang. Rasanya hanya dirinya yang sedang menderita. 

Lihat selengkapnya