Memeluk Gelombang

Edelmira (Elmira Rahma)
Chapter #19

Melaut

“Ingat-ingat selalu apa yang sudah kamu pelajari dari Bapak. Kamu, kan, tidak bisa terus bekerja di bawah Bapak.” Seorang pria tua berkaus oblong berbicara sambil mengusap peluh di dahi. Tangannya sibuk memijat kedua kakinya secara bergantian. “Penghasilan semua nelayan sekarang teh semakin menurun setelah dibangun PLTU di perairan ini, Bapak juga termasuk. Jumlah perahu kecil seperti milik Bapak ini sekarang cuma tersisa kurang dari seratus. Kalah sama kapal-kapal besar. Bapak mah termasuk beruntung karena penghasilan Bapak masih cukup untuk menghidupi istri dan tiga anak. Kamu tahu? Anak Bapak yang paling besar sekarang lagi kuliah. Dia dapat beasiswa, tapi kebutuhan kos dan beli buku semuanya Bapak yang biayai.”

Dadang menganggukkan kepala selama ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Matanya mengecek tempat penampungan ikan hasil tangkapan yang ada di dekat kakinya sebelum menatap pria yang belakangan ini mengajarkannya banyak hal. “Begitu, ya. Pak Engkos, saya benar-benar berterima kasih atas semua pengetahuan dan bantuan yang Bapak berikan untuk saya.”

“Tidak perlu seperti itu. Memangnya apa yang sudah Bapak berikan? Uang seratus atau dua ratus ribu yang Bapak kasih ke kamu mah tidak ada apa-apanya dibandingkan penghasilan Bapak dulu. Zaman sekarang, semuanya serba susah. Dapat ikan sedikit, penghasilan sedikit. Dapat ikan banyak malah bingung menjualnya karena harganya turun drastis. Tapi kalau tidak melaut, tidak ada uang untuk makan.”

Engkos terus saja meluapkan unek-unek yang selama ini berjejalan di dalam rongga dadanya sambil memperbaiki jaring ikan yang sedikit rusak. Sesekali ia terbatuk hingga suaranya serak, tetapi tidak satu kali pun ia berhenti bahkan sampai mereka tiba di dermaga. Dengan setia Dadang mendengarkan setiap kata yang Engkos ucapkan, tidak ada rasa kesal di benaknya. Hanya ada sedikit rasa iba dan banyak rasa hormat. 

Pertama kali Dadang bertemu Engkos adalah saat beberapa hari lalu ia berkelana di sekitar desa pesisir pantai dengan mengendarai motor. Saat itu ia merasa terlalu sesak karena Jalu belum juga ditetapkan menjadi tersangka dan ada beberapa pihak Hotel Samudra yang juga menjalani pemeriksaan karena diduga membantu pemuda itu. Dadang cukup terkejut mengetahui adanya kemungkinan lebih dari satu orang tersangka hingga memutuskan untuk mencari angin segar setelah menyelesaikan semua tugas yang harus dikerjakan. Ia hanya berpamitan kepada Esih yang mendukungnya untuk pergi keluar demi menyegarkan tubuh dan hati.

Tidak lama Dadang berkelana, hanya melihat-lihat suasana malam hari lalu jajan sebentar di warung yang masih buka. Ia memutuskan untuk kembali pulang karena tidak mampu berhenti mengkhawatirkan Esih dan Nia di rumah. Esih pasti terpaksa terjaga untuk menunggunya, dan Nia bisa saja terbangun sewaktu-waktu. Dadang tidak boleh hanya memikirkan kepentingannya sendiri.

Sayang, niat Dadang untuk segera pulang harus tertunda karena mesin motornya tidak kunjung menyala tidak peduli berapa kali ia menstarter motor itu. Asap yang menguar dari knalpot membuatnya terbatuk-batuk. Hilang sudah semua kesegaran yang ia nikmati beberapa menit lalu. Dadang mencoba menyalakan mesin motornya beberapa kali lagi sebelum memutuskan untuk berhenti. Suara bising dan asap pekat yang motornya keluarkan akan sangat mengganggu orang sekitar, dengan sangat terpaksa Dadang akhirnya memutuskan untuk pergi dengan mendorong motor kesayangannya.

Bengkel terdekat yang ia datangi sudah tutup. Alhasil, hanya dengan mengandalkan senter dari ponsel, Dadang mencoba memeriksa sendiri apa yang terjadi kepada mesin motornya. Di pinggir jalan yang lengang suara napasnya yang terengah-engah mengisi kesunyian. Dadang mengerjapkan mata berkali-kali, dirinya sudah sangat kelelahan hingga tidak dapat melihat dengan jelas.

“Apa kutinggalkan saja motor ini di sini?” Dadang menimbang-nimbang pilihannya sambil menatap pintu bengkel yang tertutup. Bisa saja ia mengetuk pintu itu untuk memanggil pemilik bengkel, tetapi ia merasa tidak enak melakukannya. Seandainya ia mengenal sang pemilik secara pribadi, mungkin ia tidak akan merasa segan.

Dadang menarik napas dalam. Tidak ada cara lain. Meninggalkan motornya hanya akan menambah beban untuknya di esok hari. Akhirnya, ia dorong motornya dengan seluruh sisa tenaga. Jalan yang ia lewati masih mendatar, tetapi ia harus bersiap-siap untuk menghadapi jalan menanjak setelah ia keluar dari pedesaan dan memasuki kawasan yang ditumbuhi pepohonan besar di sisi kanan dan kiri jalan. Bulu kuduk pria itu lantas sedikit merinding membayangkannya.

“Tidak akan ada masalah,” gumamnya pelan ketika tiba saatnya ia memasuki jalan menyeramkan itu. “Aku hanya harus mendorong motor ini dengan lebih cepat dan kuat, lalu—apa itu?”

Lihat selengkapnya