Memeluk Gelombang

Edelmira (Elmira Rahma)
Chapter #20

Tenggelam dalam Ketakutan

Dadang menghela napas berat sambil memijat pelipis. Suara yang keluar dari ponsel di tangannya hampir tidak terdengar, seluruh fokusnya masih tertuju kepada anak gadisnya yang terbaring di atas tempat tidur. Setelah menjemput Nia yang dibawa ke Unit Gawat Darurat Puskesmas terdekat oleh orang-orang setempat, ia tidak bisa berhenti khawatir. Dokter mengatakan bahwa anaknya akan baik-baik saja, Dadang juga bisa melihat wajah tidur Nia terlihat jauh lebih relaks dari sebelumnya. Namun, semua itu tidak menghilangkan fakta bahwa Nia telah jatuh pingsan karena stress setelah pergi sendirian tanpa berpamitan.

Mimin, tetangga Dadang, juga sempat menceritakan pertemuannya dengan Nia. Menurut wanita itu, Nia sudah terlihat tidak fokus bahkan sejak berkeliaran di sekitar rumahnya. Mimin juga menyebutkan bagaimana Nia tidak mengatakan sepatah kata pun kepadanya. Mengetahui hal ini, Dadang meminta maaf mewakili Nia sekaligus berterima kasih karena Mimin juga merupakan salah satu warga yang membawa Nia ke rumah sakit setelah mengikuti gadis itu diam-diam.

“Kukira dia sudah jauh lebih baik. Dia tidak pernah mengeluhkan apa pun lagi kepadaku,” keluh Dadang sambil mendekatkan ponselnya ke telinga. “Harusnya aku tahu kalau dia hanya sedang menyembunyikan kesulitannya karena tidak ingin aku khawatir.”

“Dia hanya terlalu menyayangi ayahnya yang hebat,” balas Soma dari seberang telepon. “Kamu ayah yang hebat,” ulangnya lagi. Ia pasti berpikir bahwa kalimat itulah yang paling dibutuhkan Dadang saat ini.

Dadang menggelengkan kepala meskipun Soma tidak dapat melihatnya. “Kalau Nia tahu ayahnya sangat ceroboh hingga pernah membiarkan rekan kerjanya kecelakaan, dia pasti kecewa.”

“Sudah kubilang, itu salahku sendiri. Hari itu aku hanya lalai dan sedang apes saja,” bantah Soma. “Justru aku harus mengucapkan banyak terima kasih ke kamu, Dang. Selama ini kamu sudah banyak bantu aku dan rekan-rekan lainnya. Semua orang tahu bagaimana kerasnya kamu bekerja, tapi kamu tidak pernah menolak setiap dimintai bantuan.”

Dadang terdiam. Meskipun tidak setuju dengan pernyataan Soma, ia coba untuk tetap mendengarkan ucapan rekan kerjanya itu. “Sekarang kamu tenang saja di sana. Soal pekerjaanmu, banyak teman-teman lain yang bersedia menggantikan sif-mu. Kamu pasti sudah dengar soal ini langsung dari si Bos, kan? Sebenarnya, aku sedikit terkejut dan iri saat melihat betapa khawatir dan betapa ikhlasnya mereka mengisi posisimu yang kosong.” Soma bercerita panjang lebar.

Hati Dadang terenyuh. Atasannya seringkali bersikap ketus saat memerintah, tetapi memiliki kepedulian yang besar terhadap para bawahannya. Sebelum menghubungi Soma, Dadang sudah lebih dulu menelepon sang bos, sehingga ucapan Soma seharusnya tidak lagi terasa mengejutkan. Namun, ia tetap perlu mengusap wajahnya kuat-kuat demi menahan rasa haru. Rasa syukur meluap di dalam dada hingga hampir tidak terbendung.

Soma sudah berusaha keras untuk menghiburnya, Dadang tidak ingin pembicaraan mereka hanya terus berfokus kepada masalahnya sendiri. Ia lantas mengalihkan arah pembicaraan, terutama setelah ia teringat akan keadaan Soma saat ini yang mungkin lebih memprihatinkan dibandingkan dirinya. “Bagaimana denganmu, Som? Apa yang akan kamu lakukan ke depannya? Maaf kalau kata-kataku terdengar kasar, tapi kamu pasti kesulitan kerja hanya dengan satu tangan. Aku hanya merasa cemas.”

Berhati-hati Dadang mengatakan itu, khawatir Soma akan tersinggung. Di luar dugaan, Soma justru terkekeh. “Tidak masalah. Bos kita juga sangat baik, dia minta aku tidak memikirkan itu untuk sementara waktu,” jawabnya dengan enteng. Pria itu telah benar-benar menerima nasibnya hingga tidak lagi menangisi kecelakaan yang telah menimpanya. “Sudah, jangan khawatirkan aku! Yang penting di sini adalah anakmu, pastikan kamu tidak meninggalkannya selama masa pemulihannya. Aku juga punya anak, dia pernah sakit keras dan kehilangan kepercayaan dirinya karena penampilannya yang kurus dan pucat. Dia butuh dukungan yang banyak. Anakmu juga pasti sama meski apa yang mereka alami jelas berbeda.”

“Anakmu pernah sakit? Yang mana? Kenapa aku tidak tahu soal itu?” Dadang semakin merasa tidak enak hati. Bagaimana bisa ia tidak mengetahui kesusahan yang dialami rekan kerja terdekatnya?

“Dia sakit jauh sebelum kita saling mengenal.” Soma kembali tertawa ringan hingga sedikit terbatuk. Pria itu terdengar berbicara dengan seseorang sebelum menyudahi panggilan. “Jangan segan untuk mengabariku lagi soal anakmu, ya. Aku belum bisa menjenguknya secara langsung, jadi setidaknya aku bisa memberi ayahnya dukungan dari jauh.”

“Baiklah.” Tanpa berlama-lama lagi, Dadang menekan tombol merah di ponselnya. Tepat di saat itu, ia melihat Nia bergerak dengan gelisah. Terburu-buru ia menghampiri sang anak sambil berteriak memanggil Esih.

Lihat selengkapnya