Proses pengadilan untuk kasus yang menimpa Nia terus berjalan. Beberapa koran lokal masih bertahan mengabarkan berita terkini tentang kasus itu, mulai dari pengumpulan berkas yang diserahkan ke kejaksaan hingga kejaksaan melimpahkan kasus ini ke pengadilan untuk disidangkan. Sementara sebagian koran lokal lainnya lebih memilih untuk mengabarkan berita terbaru yang mungkin dirasa lebih menarik. Biar bagaimanapun, tidak semua orang mau membaca berita yang terus membahas kasus yang sama.
Nia sendiri tidak banyak membaca maupun mendengar berita, tetapi sesekali ia mengetahui setiap proses pengadilan kasus yang menimpanya dari Esih dan Dadang yang seringkali berdiskusi diam-diam. Kedua orang tuanya itu juga tidak mengetahui banyak hal tentang hukum, tetapi mereka mungkin terpaksa mempelajarinya meskipun sedikit agar dapat lebih mengerti apa yang sedang terjadi. Tampaknya, sidang pertama dan kedua berlalu begitu saja dengan jarak kurang lebih satu minggu. Majelis Hakim menolak nota keberatan terhadap tuntutan yang disampaikan oleh pengacara Jalu, maka sepertinya akan ada sidang yang lainnya. Nia yang mendengarkan semuanya dari balik dinding kamar kedua orang tuanya tidak paham lebih dari ini.
Gadis itu selalu memilih untuk tidak hadir di setiap persidangan dan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama Indri yang rela membolos sekolah demi dirinya. Namun, tidak satu detik pun ia merasa tenang. Setiap kali orang tuanya pulang dari pengadilan, raut wajah mereka terlihat kusut. Esih dan Dadang tidak menceritakan apa pun yang terkait dengan masalah itu dan terus mengalihkan perhatian setiap kali Nia bertanya. Melihat proses hukum yang tidak kunjung selesai juga semakin membuat sang gadis gelisah. Apa pihak Jalu didampingi oleh penasihat hukum yang sangat andal? Nia hanya ingin memastikan ia tidak akan pernah bertemu dengan penjahat itu lagi, apa permintaannya itu terlalu sulit untuk diwujudkan?
Sampai pagi ini, hati Nia terasa tidak nyaman. Ia tidak ingin terus dibuai ketenangan palsu di dalam perlindungan rumahnya sementara kedua orang tuanya memperjuangkan keadilan. Dengan ketakutan yang menyelubungi diri, Nia memaksakan kedua kakinya untuk berjalan menuju lemari dan memilih pakaian terbaik. Ia bergegas ke kamar mandi tetapi Esih menghentikannya.
“Nia mau ke mana?” Esih bertanya dengan lembut. Kedua mata wanita itu terlihat lelah dengan kantung mata yang menghitam. Raut wajahnya seketika menegang saat Nia mengutarakan niat untuk ikut pergi bersama Esih dan Dadang hari ini. Ke mana pun itu. “Nia di rumah saja,” tolak Esih cepat. “Sebentar lagi Indri datang. Ambu sudah memberi pengertian ke orang tua Indri, mereka langsung mengurus izin sekolahnya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir Indri bolos untuk menemani kamu.”
“Abah sama Ambu sendiri mau ke mana?” Nia tidak tahan untuk balas bertanya. Kedua orang tuanya sudah terlihat gelisah untuk waktu yang lama, setidaknya ia ingin tahu hal lain yang mungkin membuat kekhawatiran mereka semakin menjadi. “Bukannya hari ini tidak ada persidangan?”
“Abah mau ketemu teman lama yang mungkin bisa membantu kita,” jawab Esih cepat. “Doakan saja kami, ya. Nia tidak perlu ikut. Abah sama Ambu lebih tenang kalau Nia diam di rumah.”
Nia ingin protes, tetapi menahan diri. Ia sadar kalau dirinya sudah banyak merepotkan. Apalagi kali terakhir ia pergi keluar rumah, ia pulang dalam keadaan tidak sadar diri. Dirinya cukup malu setiap kali mengingat saat itu. Untung saja Esih dan Dadang cukup pengertian hingga tidak pernah sedikit pun menyinggung soal kejadian itu.
Akhirnya, tanpa perlawanan, Nia mengantar orang tuanya pergi serta menyambut kedatangan Indri. Kini sudah berjam-jam ia menghabiskan waktu dengan Indri, tidak kunjung ada kabar dari Esih maupun Dadang. Nia baru saja ingin menghubungi salah satunya setelah ia selesai bermain dengan Indri.
“Apa kamu akan pindah dan tinggal bersama abahmu di luar kota?” tanya Indri tiba-tiba. Kedua matanya masih fokus kepada kartu beraneka angka, simbol, dan warna di tangan, tetapi ia tidak kunjung mengeluarkan kartu serangan dan menunggu Nia menjawab pertanyaannya.