Suara gemerisik di kamarnya membuat tidur Nia sedikit terusik. Tanpa berusaha membuka mata, gadis itu mengubah posisi tidurnya menjadi menghadap jendela, membelakangi pintu. Namun, sinar matahari pagi yang menyusup masuk di sela-sela gorden semakin membuatnya terganggu. Ia akhirnya mengerang pelan lalu meregangkan tubuh. Mungkin memang sudah waktunya untuk bangun.
Butuh sedikit waktu untuk kesadaran gadis itu pulih sepenuhnya. Tadi malam ia terjaga cukup lama hingga rasanya kini ia ingin tidur seharian. Kedua matanya enggan terbuka, seolah-olah memaksanya untuk kembali terlelap, tetapi suara gemerisik itu kembali terdengar, kali ini diikuti oleh bisikan samar-samar. Tubuh Nia membeku seketika, bahunya terasa kaku hingga ia tidak bisa langsung berbalik ke sumber suara. Ia mencoba menenangkan diri, hanya saja, kedua telinganya bekerja terlalu baik. Ia bisa mendengar suara kaki kursi menggores lantai serta bunyi tap-tap yang menyerupai suara langkah kecil seseorang.
Brak!
Suara nyaring itu membuat Nia melompat dari kasur lalu berdiri di dekat jendela, siap untuk kabur ke luar kapan saja. Kedua tangannya menyilang di depan tubuh, membentuk perisai perlindungan seadanya. Dengan detak jantung tidak karuan, ia mencoba memberanikan diri untuk memastikan makhluk seperti apa yang telah berani memasuki kamarnya tanpa izin. Seluruh tubuhnya bergetar oleh memori buruk tentang Jalu yang masih menghantui.
“Tenang, ini kamarku sendiri. Aku bisa melindungi diri,” ucapnya dalam hati.
Setelah beberapa kali mengerjapkan mata, Nia melihat bayangan seseorang tengah berjongkok di depan pintu kamarnya yang setengah terbuka. Menyadari keberadaannya telah ketahuan, sosok itu berdiri dengan gerakan cepat. Nia terperanjat, ia baru saja akan berteriak saat sosok itu bersuara.
“Nia sudah bangun? Maaf, Abah berisik, ya?”
Sontak gadis itu membelalak. Rasa cemas di dalam hatinya seketika menjadi lebih tenang setelah mendengar suara sang ayah, berangsur-angsur penglihatannya juga tidak lagi kabur oleh rasa takut. Terlihat jelas sosok Dadang kini berdiri dengan kedua tangan di belakang. Nia menghela napas panjang. “Abah lagi apa? Kenapa dari tadi berisik sekali?”
“Oh? Nggak, Abah cuma lagi …,” Dadang menggaruk tengkuknya dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain masih disembunyikan di belakang punggung, “cari barang …? Iya, tadi Ambu minta Abah cari sesuatu. Abah kira bakal ada di kamar Nia.”
“Barang apa?”
“Itu ….”
Tepat di saat itu, ‘benda’ yang sedari tadi Dadang sembunyikan dengan satu tangan lepas dari genggaman dan berlari ke arah Nia. Nia sedikit menjerit menyadari bahwa benda itu sama sekali bukan benda, melainkan seekor hewan. Hewan kecil berbulu yang lucu. Seketika mulut Nia menganga, sudah lama sekali ia tidak melihat hewan menggemaskan seperti itu.
“Anak kucing?” tanya gadis itu histeris. Bukan karena takut, melainkan terlalu gembira. “Kenapa ada anak kucing di sini?”
“Abah lihat dia berkeliaran di sekitar dermaga. Kata orang-orang, dia sudah ditelantarkan induknya,” jawab Dadang pelan. “Jadi dia Abah bawa saja buat Nia,” tambahnya lagi.