Nia sama sekali bukan selebriti, baik di televisi maupun di media sosial. Angka pengikutnya tidak pernah lebih dari seribu, itu pun sebagian besar di antaranya adalah teman yang ia kenal baik di SD, SMP, maupun SMA. Sejak dulu Nia juga tidak sering mengecek notifikasi maupun kotak pesan masuk, dan hanya membuka akunnya setiap kali ia ingin berbagi foto maupun video tentang kegiatan-kegiatannya.
Maka Nia tidak pernah menyangka bahwa setelah lama tidak mengunjungi media sosialnya, ia akan disambut banyak notifikasi dari pesan maupun komentar para pengikutnya. Jantungnya berdegup kencang oleh rasa penasaran sekaligus takut. Selama beberapa detik, ibu jarinya hanya diam membeku di depan layar, tidak tahu harus melakukan apa.
Dengan tarikan napas panjang, Nia membenarkan posisinya yang berbaring di atas kasur agar lebih nyaman, lalu memberanikan diri untuk pertama-tama melihat komentar di foto terakhir yang ia unggah. Foto itu diambil di hari dirinya diumumkan sebagai salah satu finalis Putri Sawarga. Sosoknya terlihat anggun dalam balutan kebaya tradisional dan riasan tipis, kedua tangannya bersatu di depan tubuh dalam gestur salam. Di belakangnya, terlihat banyak finalis lain juga tengah merayakan keberhasilan mereka dengan cara masing-masing. Mata berkaca-kaca Nia membaca keterangan yang tercantum di bawah foto: “Setengah perjalanan meraih mimpi.”
Ibu jari gadis itu kembali mengusap layar ponsel, mengalihkan perhatiannya kepada kolom komentar. Banyak pengikutnya bertanya-tanya mengapa Nia tidak lagi mengunggah foto lainnya. Mereka semakin heran karena sebelumnya Nia rutin berbagi proses perjuangannya demi menjadi perwakilan dari pantai terindah di Sukabwana. Beberapa orang mulai asal menebak dengan mengatakan bahwa Nia mungkin tidak ingin mengunggah apa pun karena kalah dalam kompetisi tersebut. Sementara beberapa orang lainnya mulai menghubungkan tidak adanya kabar dari Nia dengan kasus yang sempat ramai dibicarakan di televisi.
“Apa Nia merupakan korban pemerkosaan yang dilakukan oknum panitia? Rasanya aneh, kenapa dia tiba-tiba menghilang? Apalagi kenalanku bilang kalau bapak korban yang wara-wiri di televisi itu bapaknya Nia.” Komentar tersebut terlihat menonjol dibandingkan yang lainnya. Nia merasa kedua matanya terbakar melihat pertanyaan itu.
Bukannya Nia tidak pernah berpikir bahwa cepat atau lambat semua orang akan tahu apa yang akan dialaminya, selama ini ia menghindari media sosial karena mengetahui betul hal itu. Hanya saja, mengonfirmasi sendiri bahwa kekhawatirannya sungguh telah menjadi nyata ternyata jauh lebih menakutkan dari yang pernah Nia bayangkan. Tangannya bergetar hebat hingga hampir membuat ponselnya jatuh tepat ke atas wajahnya.
Dengan mengumpulkan seluruh keberaniannya, Nia mencari tahu bagaimana tanggapan teman-temannya terhadap komentar itu. Nama yang pertama kali terlihat olehnya adalah nama Indri. Indri menulis tanggapan dengan cukup panjang, hingga membentuk beberapa barisan. Nia membacanya pelan-pelan. Pada intinya, Indri meminta semua orang untuk tidak berprasangka apa-apa dan lebih fokus mengurusi urusan masing-masing. Nia akan kembali mengunggah foto kapan pun ia mau, para pengikutnya sama sekali tidak ada hak untuk menuntutnya aktif di media sosial setiap waktu.
Nia menutup mulutnya dengan tangannya yang tidak memegang ponsel, sebisa mungkin meredam suara isak tangis yang keluar tanpa tertahan. Ia sungguh tersentuh mendapati Indri membela dirinya tanpa ia tahu. Bukan hanya satu atau dua komentar, sekitar puluhan komentar jelek Indri balas dengan penjelasan yang cukup panjang. Orang asing yang kebetulan membacanya mungkin akan mengira bahwa Indri adalah pemilik asli akun Nia. Padahal Indri bisa saja mengabaikan semuanya, tetapi ia memilih mengorbankan waktu dan tenaganya untuk Nia.
Nia berpindah membuka kotak masuknya, jumlah pesan yang belum dibaca tidak sebanyak komentar di foto unggahannya. Ia juga tidak merasa terlalu khawatir sebab nama-nama yang tercantum adalah nama yang cukup familier. Hampir semua pengirim pesan itu adalah teman-temannya di sekolah. Mereka mungkin tahu apa yang terjadi kepada Nia, tetapi tidak berusaha menyinggung apa pun soal itu. Dengan sopan dan ramah mereka hanya meminta Nia untuk mengabari mereka setiap kali Nia sempat.
“Apa yang harus kukatakan kepada mereka?” Nia bertanya-tanya dengan lirih, tangannya meremas seprai tempat tidurnya erat-erat. Beban yang mendesak dadanya kembali saat ia memikirkan teman-temannya yang baik hati. Mereka pasti ingin tahu perkembangan dari perjuangan dirinya meraih mimpi dan siap untuk ikut merayakan jika seandainya Nia berhasil melakukannya. Nia sungguh tidak ingin mengecewakan mereka dengan mengatakan bahwa dirinya mundur dari kompetisi dan mungkin tidak akan pernah lagi mencoba untuk mengikuti kompetisi di tahun berikutnya.
Tepat di saat Nia hampir kembali tenggelam dalam lautan kesedihan, suara mengeong terdengar samar-samar. Nia sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat anak kucing miliknya yang tengah berjalan memasuki kamar dengan sedikit waspada. Langkah kucing kecil itu sempat terhenti setelah menyadari tatapan Nia, tetapi kemudian ia berjalan dengan lebih percaya diri setelah Nia menirukan suara kucing dengan mulutnya.