Setelah melalui proses yang panjang, Jalu akhirnya dikabarkan divonis penjara 10 tahun lamanya. Keluarganya yang termasuk orang-orang terpandang di Sukabwana terpaksa pindah ke kota lain yang cukup jauh karena tidak tahan menanggung rasa malu. Sementara itu, situasi di tempat tinggal Esih berjalan sebagaimana biasanya, seolah-olah tidak pernah ada kejadian buruk yang menimpa salah satu mantan warga di sana. Keluarga Esih sendiri juga memilih untuk tidak membahas masalah ini lagi. Mereka memang cukup lega Jalu akhirnya mendapat hukuman, tetapi tidak ada yang patut dirayakan dari hal itu.
Esih tersenyum pahit. Di antara keramaian ibu-ibu yang menyerbu para pedagang sayuran di pasar kaget, sepertinya hanya dirinya yang kesulitan membendung segala pilu dan kesedihan. Kedamaian yang kembali menyelimuti keluarganya belum pulih sepenuhnya. Beberapa bulan sudah berlalu sejak ia harus rela melepas Nia pergi demi pemulihan mental sang anak. Dadang juga harus kembali bekerja dan kembali sulit bertemu dengan Nia meski berada di kota yang lebih dekat dengan sang anak. Namun, Esih pikir, kondisi suaminya itu pasti lebih baik dari dirinya yang kini benar-benar hidup seorang diri.
Kamar Nia terasa sangat sunyi setiap kali Esih membersihkannya. Lemari pendingin dan meja makan di rumahnya juga hampir tidak pernah tersentuh. Esih merasa tidak perlu menggunakan kedua benda itu di saat ia tidak memiliki anggota keluarga untuk diberi makan. Ia hanya membeli makanan instan atau masakan yang dibuat tetangga untuk dimakan sendiri. Esih bahkan ragu, apakah kedua tangannya masih lihai untuk menggunakan pisau. Jumlah alat memasak yang masih ia gunakan terhitung sedikit, hanya beberapa alat yang mendukung kegiatannya membuat aneka camilan untuk berjualan.
Oleh karena itu, begitu mendengar kabar via telepon dari sang suami tadi malam, pagi ini Esih langsung bergegas membeli semua kebutuhan pokok yang sudah lama tidak ada di rumah. Dengan ceria ia menghampiri kios demi kios, tersenyum lebar setiap kali para pedagang berterima kasih kepada dirinya yang berbelanja tanpa menawar. Esih pikir suasana hatinya telah jauh membaik, tetapi ternyata semakin ramai pasar yang didatanginya justru semakin membuatnya merasa kesepian.
“Sepulang dari sini aku harus telepon Nia untuk memastikan berapa lama dia akan berlibur di sini,” pikir Esih sambil berjalan tergopoh-gopoh, masing-masing tangannya membawa satu tas belanja yang besar. Dedaunan hijau tampak menyembul dari dalam salah satu tas itu. Napas Esih terengah-engah, terlalu bersemangat membuatnya sedikit kesulitan untuk mengatur energinya hingga kelelahan melewati jalan menanjak.
Hanya perlu berjalan sedikit lagi, Esih akan sampai di rumah. Pandangannya yang sedari tadi menunduk memperhatikan jalan kini menatap lurus ke depan. Esih bersiap untuk melihat pagar bambu rumahnya, tetapi mulutnya lantas sedikit menganga saat melihat apa yang ada di sana. Atau lebih tepatnya, siapa yang sudah menunggunya di sana.
“Ambu!” Dalam balutan jaket tebal dan pelindung kepala yang belum dilepas, Nia berlari lalu nyaris menyeruduk ibunya dengan kecepatan tinggi. Beruntung, gadis itu segera sadar dan menurunkan kecepatannya tepat sebelum memeluk tubuh kurus Esih. “Nia kangen banget sama Ambu! Dari kemarin Nia minta Abah buat cepat-cepat jemput Nia dari rumah Nenek.”
“Astaga … Ambu juga kangen, Nak,” jawab Esih sebelum mencium kedua pipi Nia. Hatinya yang sempat terasa kosong kini terasa penuh hanya dengan kehadiran sang anak. “Tapi Ambu kaget, pagi-pagi sekali kalian ke sini? Sudah pada sarapan?”
Nia mengulum bibirnya sambil melirik Dadang. Sang ayah mengangkat kedua bahu sambil mengambil tas-tas belanja dari tangan Esih. “Tadi Akang sudah ajak Nia makan dulu di jalan, tapi dianya gak mau. Kangen masakan Ambu, katanya.”
“Aduh, tapi Ambu baru saja belanja bahan-bahannya. Nanti Nia sama Akang nunggunya kelamaan.”
“Gak apa-apa.” Nia dan Dadang menjawab bersamaan. Mereka tertawa sementara Esih sedikit cemberut, cemburu kepada kekompakan ayah dan anak itu. Namun, tidak dapat dipungkiri betapa berbunga-bunga hatinya melihat keluarga kecilnya kembali berkumpul. Walaupun hanya untuk sementara.
Segera Esih singkirkan raut muram yang mungkin akan segera mendiami wajahnya. Sambil merangkul Nia—dengan sedikit kesulitan karena tubuh Nia lebih tinggi darinya—Esih membukakan pagar dan mempersilakan mereka masuk. Dadang menunggu pintu rumah terbuka untuk menyimpan barang belanjaan sebelum memarkirkan motornya tepat di depan pintu masuk.
Esih bersikukuh melarang Dadang dan Nia untuk membantunya memasak. Kedua orang tercintanya itu pasti kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang, sudah sepatutnya mereka beristirahat. Nia berteriak kegirangan mendapati kamarnya masih seperti yang ia ingat, tanpa membuang waktu ia langsung berbaring di atas tempat tidur. Semerbak harum pewangi pakaian yang menempel pada seprai membuai dirinya untuk segera pergi ke alam mimpi.