“Kenapa gak langsung asal tebar aja, sih?” Indri protes sambil mengusap dahinya yang berselimut peluh. Udara sore hari di Pantai Sawarga tidak begitu panas dan sedikit berangin. Bagian rambutnya yang tidak terikat seharusnya menari-nari dengan indah dibelai embusan angin, tetapi terlalu banyak bergerak membuatnya banjir keringat, sehingga rambutnya justru menempel ke pelipis.
Nia yang berada tidak jauh dari Indri menjawab tanpa menatap temannya itu. Dirinya fokus menatap pasir di sekitar dengan kedua tangan membawa kardus kecil yang telah lama disimpannya di rumah. “Kalau langsung ditebar, bisa-bisa cangkangnya diambil lagi sama orang yang senang mengoleksinya. Lagipula, dengan begini aku bisa lihat langsung saat para kelomang berpindah cangkang. Bukankah itu salah satu kejadian paling menakjubkan yang bisa kita lihat?”
“Iya, sih. Tapi sudah berapa jam kita di sini?” Indri mendengkus. “Nia, aku sebenarnya cukup senang kamu mengajakku kemari, tapi kalau ini yang akan kita lakukan setiap hari, mungkin lebih baik kamu membawa orang lain.”
“Siapa lagi yang bisa kuajak? Temanku di sini cuma kamu.”
“Memangnya di kampus kamu tidak berteman sama siapa pun?”
“Belum ada yang cukup akrab denganku.” Nia berbalik menghadap Indri. Bibirnya sedikit cemberut saat ia mengatakan jawabannya. “Suasana kuliah ternyata sangat berbeda dengan SMA. Tiba-tiba aku berubah menjadi seorang pemalu di kampus.”
Indri membelalakkan mata sebentar sebelum mengangguk. “Sejujurnya, aku juga begitu. Ya, sudah. Mau bagaimana lagi? Kurasa aku akan terus terjebak bersama kamu.” Seakan-akan mendapat semangat baru, Indri menggulung ujung lengan bajunya yang memang sudah pendek lalu berkacak pinggang. “Aku harus lihat-lihat ke bagian mana lagi? Ayo, kita lakukan ini sampai menjelang malam.”
Nia terkekeh melihat perubahan sikap sahabatnya. Sedari awal ia tahu bahwa Indri tidak benar-benar keberatan menemaninya memberi cangkang baru pada setiap kelomang yang mereka temukan. Selama bertahun-tahun berteman, Nia mulai mengerti bahwa sang sahabat hanya kejam di bibir tetapi tidak di hati.
Meskipun begitu, Nia tidak ingin terlalu memanfaatkan sifat baik Indri, terlihat jelas bahwa gadis di depannya sudah sangat jenuh dan lelah. Oleh karena itu, Nia menyimpan sekotak cangkang kosong miliknya di atas pasir, lalu meregangkan tubuhnya yang terasa sedikit kaku. “Kita lanjut mencari kelomangnya lain hari saja. Sekarang, bagaimana kalau kita berendam sebentar? Sudah lama kulitku tidak menyentuh air laut.”
Tanpa menunggu tanggapan dari Indri, Nia melepas alas kaki dan mulai berlari kecil menuju garis pantai. Air laut seolah-olah menggodanya dengan bergerak ke arah yang sama dengan arah yang dituju Nia. Kaki gadis itu tidak kunjung menyentuh air asin bahkan setelah ia memasuki kawasan di mana pasir-pasir putih sudah sangat basah hingga menyerupai lumpur. Jejak kakinya tercetak dengan jelas hingga membentuk garis putus-putus.
Hanya butuh satu langkah lagi untuk Nia menceburkan kakinya ke laut, ombak juga mulai bergerak ke arahnya. Namun, seseorang menarik tangannya hingga Nia jatuh ke belakang dan terduduk di atas pasir. Wajahnya mengernyit dengan kedua mata terpejam erat saat ombak kecil akhirnya menerpa, percikan air asin membasahi pipinya.
“Maaf! Maafkan aku!” teriak Indri yang langsung membantunya berdiri. “Tadi aku hanya ingin membuatmu mundur sedikit, tapi aku menarik terlalu keras sampai kamu terjatuh. Kamu tidak apa-apa?”