Memeluk Gelombang

Edelmira (Elmira Rahma)
Chapter #26

Dinamika Baru

“Siapa yang sangka akhirnya kamu bakal segera membeli perahumu sendiri?” Engkos tertawa bangga sambil membukakan sekaleng minuman dan menyerahkannya kepada Dadang. “Tidak ada, kecuali Bapak. Dari awal Bapak teh sudah mengamati kamu yang selalu bersemangat membantu Bapak. Dari situ Bapak langsung tahu kalau hatimu juga sudah terjerat oleh lautan. Ralat, bahkan dari saat Bapak melihatmu mendorong motor mogok dengan kepayahan, Bapak sudah sadar kalau jiwamu itu sudah merasa sesak karena terlalu lama terkurung di daratan.”

Dadang tersenyum lalu meneguk minuman kaleng di tangannya. Rasa manis dari minuman soda langsung menyengat tenggorokannya. Lama ia memandang hamparan luas lautan gelap yang sedikit bergelombang, menggoyangkan perahu Engkos yang ditumpanginya. Suara angin yang berembus kencang terdengar ribut di telinga, tetapi tidak seberisik suara-suara mesin dan alat berat pabrik yang selama beberapa tahun ke belakang menjadi temannya sehari-hari. Dadang mendapati dirinya lebih menikmati saat ini meskipun ia tidak memiliki banyak rekan di pekerjaan ini.

“Mungkin Bapak bosan mendengarnya, tapi saya benar-benar berterima kasih kepada Bapak,” ujarnya kemudian. Ia menggelengkan kepala saat melihat Engkos hendak menyanggah. “Dulu, saya terus gagal mencari pekerjaan yang layak di sini. Berkali-kali orang sekitar menyarankan untuk coba melaut, saya menolak dengan alasan pekerjaan itu tidak cocok untuk saya. Padahal kenyataannya, saya sangat ingin melakukannya, tapi rasa takut membuat saya menyerah sebelum mencoba.”

Kedua alis Engkos terangkat mendengar itu. “Kamu tidak kelihatan takut laut sama sekali? Atau kamu menahan mabuk laut selama ini?”

“Bukan itu.” Dadang menarik napas sangat dalam lalu duduk dengan lebih tegak. “Saya takut karena laut itu terasa terlalu luas untuk dijelajahi. Tidak banyak yang manusia tahu tentang laut dan isinya, apalagi tentang apa saja yang bisa terjadi di permukaan maupun kedalaman lautan. Sebagai warga Sukabwana yang lahir dan besar di sini, tentu saya memiliki kemampuan berenang yang baik, tapi itu hanya cukup untuk menyelamatkan saya di dekat pantai, bukan di tengah laut.”

“Ya, ampun,” celetuk Engkos sambil bangkit. Sudah waktunya mereka kembali ke daratan. “Rupanya kamu termasuk orang yang terlalu banyak berpikir. Untung saja kepalamu tidak meledak oleh pikiran-pikiran itu, Nak.”

Dadang terkekeh menahan malu. “Benar. Saya bahkan berpikir lebih baik saya pergi merantau ke luar kota daripada harus melakoni pekerjaan yang berhubungan dengan menjelajah lautan. Lebih baik berada di jarak yang jauh dari keluarga daripada terpisah dunia.” Tanpa menahan diri ia membeberkan semua tentang dirinya kepada Engkos yang sudah ia anggap sebagai ayah kedua. “Tapi di malam saya bertemu Bapak, saat saya makan di atas perahu Bapak, saya langsung bisa merasakan kalau semua ketakutan saya itu tidak ada artinya. Berlayar bukan hanya memiliki banyak risiko, tetapi juga menyimpan banyak pengalaman indah yang tidak akan didapatkan di pekerjaan lain. Saat itu langsung timbul keinginan saya untuk menjadi seperti Bapak. Bahkan meskipun Bapak bilang penghasilan yang akan saya dapat tidak seberapa, saya tidak keberatan selama kebutuhan keluarga saya tercukupi.”

“Tetap saja kamu tidak boleh cepat puas. Anakmu semakin dewasa, kebutuhannya akan semakin banyak. Kamu tidak boleh hanya menjadi nelayan sepertiku.” Engkos berbicara tanpa melihat Dadang. Tatapannya fokus ke arah daratan yang semakin mendekat. Namun, saat ia menyadari apa yang menunggu mereka di daratan, dengan segera ia berbalik dan tersenyum lebar ke arah Dadang. “Entah itu dengan membeli perahu yang lebih besar, atau lebih banyak, atau melebarkan usahamu dengan berbisnis sebagai tengkulak, pokoknya kamu harus membuktikan bahwa kamu juga bisa sukses tanpa harus meninggalkan kampung halaman.”

Nasihat dan saran dari Engkos Dadang simpan di dalam hati dan memorinya rapat-rapat. Semua itu membuat tekadnya semakin kuat untuk menekuni bidang ini. Ia bahkan sudah berencana untuk mempelajari banyak ilmu pengetahuan yang diperlukan. Namun, hal pertama yang harus dilakukan adalah bercerita kepada Esih dan Nia. Sebelumnya Dadang hanya mengaku mengerjakan pekerjaan acak sebagai buruh lepas, tetapi kini ia tidak ingin menyembunyikan pekerjaannya lebih lama. 

Dadang sedang memikirkan cara untuk berterus terang kepada keluarganya saat perahu yang dinaikinya telah sampai di dermaga. Saking sudah menjadi kebiasaan, ia tidak perlu banyak berpikir saat membantu Engkos membongkar muatan. Tangan dan kakinya lincah bergerak memenuhi tugas masing-masing tanpa harus banyak diperintah otak. Ia baru berhenti saat Engkos menepuk keras pundaknya, pria itu menunjuk ke arah depan sambil mengatakan sesuatu.

Dadang tidak mendengar apa yang Engkos katakan karena ia terlanjur membeku di tempat melihat Nia berdiri dengan tersenyum cerah. Nia sepertinya tahu bahwa Dadang akan sangat terkejut oleh kedatangannya, sehingga gadis itu telah bersiap dengan ponsel di tangan, bagian kamera mengarah langsung kepada Dadang. Sinar lampu di samping kamera memancarkan cahaya kurang dari satu detik saat Nia menekan tombol di ponselnya. Tanpa memeriksa ponsel Nia, Dadang sudah tahu bahwa anaknya itu baru saja mengabadikan sosok dirinya yang mungkin terlihat konyol saat ini.

“Nia? Kenapa pagi-pagi begini kamu ke sini? Kamu jalan kaki?” tanya Dadang dengan sedikit panik. Ia sungguh berniat untuk mengakui semuanya hari ini, tetapi sudah dapat dipastikan rencananya akan kacau karena Nia sudah memergokinya lebih dulu. “Sebaiknya kamu pulang sekarang dan siap-siap ke kampus. Abah nanti menyusul setelah menyelesaikan urusan di sini.”

Nia mengerucutkan bibirnya. “Nia pergi ke kampus nanti saja. Nia mau kirim foto Abah ke Ambu dulu.”

“Foto Abah? Yang tadi?”

“Iya.”

Dadang menggaruk kulit kepalanya. Ia mencari Engkos untuk membantunya menjelaskan, tetapi pria tua itu sudah menghilang entah ke mana. “Nia, Abah bakal jelasin semuanya. Abah juga bakal mengaku sendiri ke Ambu. Jadi Nia jangan dulu ngomong apa-apa, ya.”

Di luar dugaan, Nia menjawab dengan santai. “Ambu sudah tahu, kok.”

Lihat selengkapnya