Blurb
Jika boleh aku memprotes Tuhan, akan kuajukan satu pertanyaan, "Jika sakinah dalam rumah tangga itu memang ada, di mana letaknya?"
Kamu tahu, apa itu bangsat? Adalah kependekan dari "Bajingan berkedok Ustadz!"
Perutku selalu mulas setiap kali ada yang menyebut kalimat tersebut di depanku. Sialnya, di kantor tempatku bekerja, banyak sekali pria yang dipanggil dengan sebutan Ustadz oleh klien kami. Mereka menelepon untuk mencari Ustadz Adi, Ustadz Nursalim, Ustadz Agus dan sebagainya.
Mereka semua tidak ada hubungannya dengan kehidupanku. Para pria yang dipanggil dengan sebutan ustad itu, juga hanya rekan kerja biasa. Tetapi sebutan Ustadz itu, sungguh, selalu berhasil membuatku, sesak napas!
"Sebegitu bencinya kamu kepada mereka. Padahal mereka adalah hamba pilihan Allah."
Eryuno adalah orang pertama yang menentangku, setiap kali aku menunjukkan sikap frontal terhadap sesuatu yang dia yakini tak layak untuk dicemooh. Dia selalu mengalami kesulitan setiap kali akan menyebut kata "Ustadz" di depanku.
"Kenapa? Seorang ustadz lah yang telah membuatku seperti ini," sengitku.
"Itu hanya oknum," bantah Eryuno, "kamu tidak bisa menyapu rata semua ustadz,"
"Aku membenci mereka semua."
"Tidak boleh."
"Aku tidak perlu pendapatmu."
"Jangan keras kepala, Ghai!"
"Sudahlah, aku tidak berminat debat denganmu."
Kebencianku lainnya adalah, tentang poligami. Aku selalu menjabarkan kasus mengenaskan produk poligami, sedangkan Eryuno selalu berusaha menyuguhkan sisi kebaikan poligami. Dengan bukti-bukti yang hanya dia lihat dari luar, karena dia sendiri belum pernah merasakan, seperti apa itu poligami.
Akulah yang tahu sekali rasanya, karena aku adalah salah satu korbannya.
Eryuno juga selalu marah setiap kali mengetahui aku akan menuliskan perjalananku selama menjalani poligami.
"Tunggu satu tahun lagi," katanya. Aku hanya tertawa mendengar itu. Apa yang akan dan bisa dia lakukan dengan satu tahun itu?
"Aku akan buktikan kepadamu, bahwa poligami, tidaklah seburuk prasangkamu!"
"Prasangka kamu bilang? Hahahaha, Yuno, aku pelaku. Aku berbicara tidak berdasarkan prasangka. Tetapi aku telah menjalaninya."
"Sudahlah, kamu sepertinya lelah. Istrahatlah."
Ya, aku lelah. Lahir batin.
Eryuno tidak akan pernah tahu, apa yang pernah kurasakan. Sesakit apa yang kualami sepanjang pernikahan poligami dengan ustadz muda itu. Bagaimana aku merasakan sakit sejak malam pertama pernikahan. Dua tahun lalu.
***
Ngilu di bagian bawahku, akibat malam pertama, belum juga hilang, darah keperawanan yang menetes di atas sprei belum juga mengering, tetapi ustadz muda yang baru lima jam resmi menjadi suamiku itu, sudah memberiku kejutan yang begitu menyakitkan.
"Sebenarnya, Umi mengijinkanku menikahimu dengan tiga syarat." ucapnya. Bola matanya bergerak mengitari wajahku. Seolah menunggu komentar apa yang akan kuberikan.
Aku membisu, menunggu penjelasan dengan perasaan berdebar. Mengapa ada syarat? Dan mengapa batu sekarang dia ungkapkan?
Pria itu melanjutkan, "Pertama, aku dilarang keras berjimak (hubungan badan) denganmu."
Hah, syarat macam apa itu? Lalu untuk apa dia tetap menikahiku? Pajangan?
"Lalu, kenapa barusan Ustadz menjimakku?" tanyaku. Sesak menjalar memenuhi rongga dadaku. Rasa hormatku yang semula sangat besar terhadapnya, serta luka yang mendadak muncul memberiku rasa tak menentu.
"Dik. . . "
"Jawab!" Meskipun terdengar tegas, aku tidak dapat menyembunyikan, suaraku bergetar.
__________________
🌸CERITA INI SAYA TULIS BERDASARKAN KISAH NYATA🌸