JAKARTA TIMUR 2011
“Semoga kamu puas atas perceraian saya!"
Pesan yang dikirimkan melalui aplikasi hijau itu sungguh membuat jantungku terasa berhenti berdetak. Bagaimana bisa, Mbak Dewi yang pernah membelikan cincin mahar dan satu stell gamis untukku satu tahun lalu, tiba-tiba mengirimkan pesan seperti ini?
Kutepuk beberapa kali dadaku, untuk menetralisir sakit yang coba menyeruak di kedalaman sana. Tenang, Ghai, tenang, gumamku.
“Ada apa, Mbak?” Aku membalas pesan tersebut dengan tanpa ekspresi. Berusaha bersikap baik-baik saja. Meskipun sungguh hatiku sedang tidak baik-baik saja.
“Tidak usah berpura-pura, aku sudah tahu semuanya, ternyata kamu itu busuk!”
Aku menarik napas berat membaca balasan itu. Bingung, kenapa tiba-tiba Mbak Dewi sekasar itu menuduhku. Kulihat di layar whatsapp, dia masih mengetik.
“Maaf saya tidak paham maksud, Mbak Dewi. Ada apa?” Aku mendahului ketikannya yang belum juga muncul.
“Tolong tanyakan kepada suami saya, apakah selama ini perjuangan saya tiada artinya sama sekali bagi dia? Apakah selama ini kesetiaan saya bukan apa-apa baginya? Saya sudah banyak berkorban untuknya, tetapi ini balasan kalian kepadaku! Sejak kehadiranmu dalam rumah tangga kami, saya tidak ada artinya sama sekali bagi suami saya!” Agak panjang Mbak Dewi membalas.
Aku kembali mengetik untuk membalas kiriman ketiga tersebut, namun aku langsung teringat ucapan Mas Hari, ketika pernikahan kami baru berjalan tiga bulan.
“Pesan apa pun yang Dewi kirim kepadamu, kamu harus mengirimkannya kepadaku lebih dulu. Jangan pernah membalasnya sendiri. Karena aku yang akan membuatkan balasan untuk kamu kirimkan kepadanya.”