CIKARANG 2009
Sejak Eryuno hadir dalam kehidupanku, rasanya hidupku menjadi tidak tenang. Aku merasa seperti selalu diawasi oleh seorang body guard dari atas langit. Entah kebetulan atau bagaimana, Eryuno suka tiba-tiba menghubungiku ketika aku sedang ada masalah. Sehingga aku sering cemas sendiri, apakah benar kata dia, bahwa kami berjodoh? Kami nyambung satu sama lain?
Bukan hanya ketika sedang ada masalah. Namun juga ketika aku sedang bersama teman priaku lainnya.
Seperti siang itu, aku sedang melakukan pertemuan dengan Bastian untuk memintanya membereskan masalah di laptopku. Dia adalah seorang ahli IT yang sering kumintai bantuan ketika laptopku bermasalah. Kepadanya juga aku sering bertanya segala sesuatu yang berkaitan tentang teknologi. Bastian selalu memiliki jawaban yang memuaskan, sehingga aku merasa nyaman dengannya. Dia juga selalu membagi informasi berguna kepadaku. Hubungan kami menjadi semakin dekat berkat itu. Meskipun begitu, percayalah, aku hanya menganggapnya seorang teman. Apalagi usianya empat tahun di bawahku.
Kami pergi ke sebuah toko buku di daerah Jababeka, kemudian mampir ke Alfamart untuk membeli minuman. Bastian masuk ke toko, sementara aku duduk di kursi kosong, yang disediakan di depan toko.
Saat itulah, tiba-tiba Eryuno menelepon dan menanyaiku sedang apa, di mana, dan dengan siapa. Terlalu kepo bukan?
“Cari buku.”
"Dengan siapa?"
"Temanlah."
“Cewek atau cowok?”
“Cewek atau cowok bukan urusanmu kan?” Aku, merasa jengah, diinterogasi seperti itu. Sayangnya, saat itulah Bastian memanggil, dan menawariku minuman kaleng. Ia juga meletakkan beberapa bungkus snack di atas meja. Jelas suaranya bisa didengar oleh Eryuno.
“Aku harap dia bukan pacarmu,” kata Eryuno seraya menutup sambungan. Marah kah dia? Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa tidak enak hati.
Selama ini, Eryuno selalu menghubungi, entah sekadar menanyakan kabar, menawari makanan, atau mengajakku jalan. Namun, aku selalu menolak, dengan alasan kesibukan. Sialnya, hari ini dia mengetahui, bahwa aku sedang jalan dengan seorang pria.
“Ada apa?” Bastian menatapku dalam. Aku menggeleng pelan. Pria berbadan kurus itu duduk di kursi seberang meja.
Satu pesan kembali masuk ke ponselku.
“Aku sudah bilang ke ibuku, ada seorang wanita shalihah, yang bisa kujadikan teman perjalanan hidupku.”
Hmm, Eryuno.
“Perempuan yang dapat menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku kelak, dan Ibu telah menyetujui proposal nikahku.”
“Selamat kalo gitu. Bentar lagi ada yang nikah donk.” balasku.
“Sekarang jawablah dengan tegas, Ukhty Annida Ghaisani, bersedia kah kamu menikah denganku?”
Ah, aku hampir saja tersedak. Gila! Eryuno memang benar-benar gila!
Pria itu melanjutkan sebelum aku menjawab, “Jika kamu siap, maka aku akan melamarmu sekarang juga. Kita pulang ke rumah orang tuamu, dan langsung menikah di sana. Setelah itu kembali lagi ke sini, untuk kita menjalani kehidupan bersama. Kamu tidak perlu lagi bekerja, karena akulah yang akan menafkahimu.”