Memeluk Masa Lalu

Bentang Pustaka
Chapter #1

SATU

Dua jam berbicara dan menjelaskan mengenai dunia penulisan fiksi ternyata tidak membuat Cleo terlihat kelelahan. Workshop di UII1 kali ini yang pertama bagi Cleo di Yogyakarta. Dia masih bersemangat menceritakan proses penciptaan novel-novelnya yang telah diterbitkan. Ratusan peserta antusias mendengarkan Cleo, mata mereka juga mengikuti gerak gerik Cleo setiap kali gadis itu berpindah dan berjalan mengelilingi panggung.

Dalam hati, sebenarnya gadis itu agak merasa lelah, tidur Cleo semalam tidak terlalu nyenyak karena terus-menerus memikirkan tenggat waktu pengumpulan naskah novelnya yang kedelapan. Ditambah lagi pikirannya mengawang jauh ke beberapa mata kuliah yang harus dia tinggalkan demi berbagi ilmu penulisan fiksi di Kota Yogyakarta ini. Tidak, dosen-dosen Cleo tidak sinis terhadap kegiatan Cleo yang padat, mereka justru bersenang hati karena salah seorang mahasiswinya melakukan tugas pengabdian masyarakat dengan baik.

Mengajari orang lain agar bisa menulis fiksi adalah mimpi Cleo yang dia pendam selama bertahun-tahun. Itulah alasan terkuat mengapa Cleo tak mau terlihat lelah di depan para peserta workshop juga panitia acara. Rambut hitam yang dibiarkan terurai hingga menyentuh punggung itu belum terlihat berminyak dan kusam meskipun butiran keringat telah bercucuran di pelipis Cleo. Mata bulatnya seakan mengajak para peserta berbicara dan berinteraksi, dia tak pernah melepaskan pandangan dari para peserta ketika berbicara serius mengenai dunia penulisan fiksi. Pipinya yang agak berisi mulai terlihat memerah karena atmosfer ruangan yang menghangat. Workshop hampir selesai, tetapi masih ada saja peserta yang berduyun-duyun memasuki aula ruangan yang hampir penuh itu.

Bibir mungil Cleo yang tipis terus bergerak karena sibuk menceritakan tip-tip rahasia untuk menerbitkan novel. Barisan giginya yang rapi sering kali terlihat ketika Cleo melontarkan candaan khasnya. Candaan yang menyentil dan menggugah para peserta workshop untuk ikut bergembira dan tertawa. Mereka tertawa sebenarnya bukan karena lucu, melainkan karena merasa sindiran Cleo menusuk ke dalam hati. Apalagi peserta workshop yang didominasi kaum remaja itu selalu saja gaduh ketika Cleo mengucap kata galau dan mantan. Dalam gemuruh tawa itu, Cleo merasa dirangkul oleh seluruh peserta. Tak ada alasan baginya untuk terlihat lelah dan tak bersemangat.

Sambil menunggu tawa dari para peserta mereda, sesekali Cleo memainkan hidung mancungnya, aset paling penting yang menambah khas kecantikan perempuan dengan darah campuran Jawa-Sulawesi itu. Dia tahu akan menjadi pusat perhatian, makanya Cleo sengaja mengenakan dress berwarna biru tua sepanjang lutut dengan high heels hitam. Tubuh Cleo yang tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk itu melenggang dengan bebas di panggung. Langkahnya teratur dan pelan, anggun serta memesona—dia menjadi primadona acara.

Ketika akan masuk sesi pertanyaan, akhirnya Cleo diperbolehkan untuk duduk dan meminum air mineral. Mata bening yang dihiasi bulu mata lentik alami itu mengamati wajah-wajah peserta yang antusias menanyakan hal-hal mengenai dunia penulisan fiksi. Moderator cantik yang berjilbab duduk di samping Cleo, dia memberi waktu beberapa menit kepada Cleo untuk menghela napas sesaat sebelum melanjutkan ke sesi tanya-jawab.

“Sudah siap menjawab pertanyaan, Mbak?” bisik sang moderator. “Mungkin sekitar lima pertanyaan?”

Cleo menjawab dengan senyum, “Iya, setelah itu masuk sesi curhat, ya?”

Moderator mengangguk mantap, mahasiswi UII yang dipercaya untuk memimpin jalannya workshop penulisan fiksi itu meraih mik untuk mengumumkan bahwa sesi tanya-jawab telah dibuka. Setelah pengumuman itu, sekitar lebih dari dua puluh peserta langsung mengangkat tangan. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang berteriak lantang dari bangku belakang. Ada juga yang sampai berdiri dari tempat duduk, seakan merayu dan mencuri perhatian sang moderator.

Cleo sangat akrab dengan pemandangan seperti ini, inilah sesi yang paling ditunggu. Gadis itu memandang moderator yang kelelahan, lalu mulai angkat bicara, “Teman-teman, Mbak moderator akan memilih lima pertanyaan, ya. Nah, untuk teman-teman yang nggak sempat nanya, bisa bertanya sama aku di email. Jadi, nggak perlu takut kalau nggak dapat kesempatan bertanya.”

Pernyataan Cleo cukup mengatasi kebingungan yang dialami moderator. Lima pertanyaan yang terpilih telah dijawab Cleo dengan mulus. Para peserta juga puas dengan penjelasan Cleo. Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya sudah ada dalam penjelasan Cleo saat memberi materi, tetapi ketika menjawab pertanyaan, Cleo lebih memantapkannya.

“Mungkin, ada satu pertanyaan lagi sebelum kita masuk sesi curhat?” ucap Cleo sambil melirik ke para peserta, “Ada?”

Sekitar sepuluh orang mengangkat tangan, Cleo menatap dengan teliti sambil mengingat siapa yang lebih dulu mengangkat tangan. Sang moderator yang juga mengamati peserta langsung mengemukakan pernyataannya, “Mbak Cleo, itu yang baju ungu di belakang yang pertama angkat tangan.”

“Oh, Mbak yang di belakang itu, ya?” senyum Cleo mengembang, “Nama, asal, dan mau tanya apa, Mbak?”

“Makasih, Mbak Cleo. Nama saya Brigitta, dari Fakultas Ekonomi UII, saya ingin bertanya sebenarnya agak menyimpang dari materi. Dibolehkan nggak, Mbak?”

Cleo mengangguk, “Yang penting nggak tanya kejelasan status hubungan saya dan gebetan saya, ya, Mbak. Yang jelas masih gantung dan saya sekarang masih sendiri.”

Candaan Cleo kembali memecahkan tawa para peserta, celotehan dari Cleo mungkin terasa mengiris hati para peserta yang seakan mengalami hal serupa.

“Saya baca buku Mbak, buku itu menceritakan pria yang Mbak Cleo temui di bus dengan trayek Cibinong–Yogyakarta. Kenapa di cerita Mbak banyak menggunakan latar Yogyakarta? Dan, apakah tokoh pria dalam cerita itu benar-benar ada? Raditya, ya, kalau nggak salah? Itu saja pertanyaan saya, Mbak, makasih.”

Sebelum menjawab pertanyaan, Cleo mencoba memilih kata-kata yang pas agar tidak membuka luka di dadanya. Apalagi mendengar nama pria itu lagi, rasanya dia ingin segera berlari ke Pantai Parangtritis sambil berteriak sekuat-kuatnya. Cleo menarik napas sebelum menjawab, lalu mengembuskan napas lagi dengan kuat.

“Bagi saya, Yogyakarta punya banyak sisi untuk dibahas. Dipandang dari sisi mana pun, Yogyakarta tetap Yogyakarta, menyenangkan dan meneduhkan. Soal Raditya, tokoh itu memang ada, tapi saya juga nggak tahu dia sekarang di mana. Lagi pula, kalaupun ketemu lagi, pasti dia udah nikah, saya dan dia terpaut jauh, kok, umurnya. Beda lima tahun.” Cleo berusaha tersenyum setenang dan sehangat mungkin, “Hari ini, 27 Desember 2014, sudah tiga tahun berlalu sejak pertemuan saya dengan dia. Selama tiga tahun ini, saya nggak pernah ketemu dia lagi.”

Nada bicara Cleo yang terdengar pedih seketika membuat suasana menjadi hening, para peserta seakan bisa merasakan perih dan getirnya menjadi sosok Cleo. Dengan mata sedikit berair, Cleo kembali menatap para peserta, “Itulah mengapa saya selalu menulis dalam buku saya, berpesan kepada pembaca agar tidak menyia-nyiakan pertemuan pertama. Saya selalu berdoa nggak ada lagi orang yang nantinya akan menyesal seperti saya karena terlalu meremehkan pertemuan pertama. Saya selalu berdoa, berharap agar saya orang terakhir yang bersedih karena mengabaikan pertemuan pertama. Harapan saya, para pembaca saya nggak akan mengalami luka seperti yang saya alami.”

Jawaban itu mengundang rasa simpati dan haru, beberapa detik setelahnya riuh tepuk tangan meramaikan aula. Cleo kembali duduk di bangkunya. Sesekali dia memandang ke atas agar air mata yang telanjur berada di pelupuk mata tidak jatuh ke pipi.

“Move on, Mbak, jangan galau terus!” bisik Doni, salah seorang panitia workshop yang mengantar Cleo hingga masuk ke hotel. “Ada yang nemenin tidur nggak, Mbak?”

Della, gadis berjilbab yang juga menjadi moderator tadi langsung berceletuk risi, “Kamu, tuh, Don, Mbak Cleo nggak mungkin seleranya kayak kamu. Ganjen! Mbok sadar. Ngaca gitu, lho!”

Cleo hanya tersenyum ramah, dia terus berjalan memasuki lift diikuti Della dan Doni, pria yang memang sejak tadi berusaha keras untuk menarik perhatian Cleo. Doni turut menyampaikan simpati yang besar kepada Cleo ketika gadis itu menceritakan pertemuan pertamanya dengan Raditya.

“Nggak ada salahnya berusaha, Del. Siapa tahu Mbak Cleo bosen sama yang ganteng jadi akhirnya milih anak kosan biasa kayak aku.” Doni membela diri, “Iya nggak, Mbak?”

Anggukan Cleo terlihat seadanya, rasa lelah di tubuhnya tidak lagi dapat dia sembunyikan. “Kalian ramah banget, aku seneng bisa diundang ke acara kalian. Makasih juga udah ajak jalan ke mana-mana, sampai malam gini. Semoga kerja sama kita bisa berlanjut, ya.”

“Pasti, Mbak! Dengan senang hati, saya masih pengin jadi LO2 Mbak Cleo. Selamanya jadi LO Mbak Cleo juga saya siap!”

“Kamu semangat banget, Mas.” Cleo mencubit bahu Doni. “Besok jangan lupa jemput aku jam 1.00 siang, ya. Pesawatku jam 3.00 sore.”

Lihat selengkapnya