Dinginnya Yogyakarta ternyata masih membekas hingga pukul sebelas siang. Raditya terbangun dari tidurnya dan menyadari betapa semalam dia sangat patah hati. Gadis itu pergi lagi dan dia tak tahu apakah Tuhan masih akan berbaik hati untuk mempertemukan mereka lagi.
Cowok itu membuka matanya dan jemarinya sibuk mencari kacamata. Setelah benda itu ditemukan, dia segera memakai kacamata itu. Sesekali dia meregangkan tubuhnya dan menarik selimut hingga menutupi bahu. Sekarang, kedua mata sipit itu sedang menatap layar ponsel. Puluhan mised call masuk, beberapa chat juga muncul, dan pesan singkat juga berserakan setiap detik.
Sambil menghela napas menahan kesabaran, pria itu langsung menghubungi seseorang yang sejak malam tadi menghantuinya, “Pagi, Sayang.”
“Ini siang!” celetuk gadis di ujung telepon, “Kamu ke mana aja? Dari semalam nggak ngabarin aku. Seru banget emang liburan kamu?”
“Semalam aku ngobrol-ngobrol sama temen aku,” dia berbohong, “Kecapekan, Sayang, makanya langsung tidur. Jogja juga hujan terus.”
“Padahal, aku mau nanya penting banget. Mama kamu nanyain soal katering kita, katanya nggak mau masakan Sunda, western aja gitu. Takut tamunya mama kamu nggak suka.”
“Ya udah, kamu urus sendiri aja.”
Cewek itu terdiam sesaat sebelum melanjutkan pembicaraan, “Kamu, kok, nggak ada semangat-semangatnya ngurus pernikahan kita? Ini yang mau nikah kita berdua, lho, bukan aku sendiri.”
“Aku lagi di Jogja, Sayang, kalau mau, tunggu aku sampai di Bogor. Kita urus besok, ya. Aku mau mandi, pesawatku jam tiga sore.”
“Jadi, kamu mau tutup teleponnya? Nggak mau ngobrol sama aku dulu? Nggak kangen? Semalam kita nggak teleponan, lho.”
“Ninda Sayang,” rayu Raditya, “aku sayang kamu, kamu juga pasti tahu gimana aku kangen banget sama kamu. Udah jangan bawel. Kalau kamu bawel, aku nikah sama anak buah aku yang sering kamu cemburuin itu, mau?”
“Nggak! Nggak boleh!” tawa Ninda gemas, “Cepaaaaaat pulang, cepat kembali jangan pergi lagi. Firasatku ingin kau ‘tuk cepat pulang.”
Raditya menggeleng, “Udah nggak usah nyanyi, aku mandi dulu, ya. I love you.”
Telepon langsung diputus oleh Raditya, dia bahkan tidak berminat mendengar I love you, too, dari bibir Ninda.
Jika bukan karena keinginan ibunya, Raditya tidak akan menikahi gadis itu. Kebahagiaan seorang ibu adalah melihat anaknya bahagia, dan bagi Raditya kebahagiaan ibunya pantas untuk diperjuangkan, meskipun itu berarti harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
Setelah mandi dan merapikan seluruh barang-barangnya, Raditya check out dari hotel dan memesan taksi menuju Bandara Adisutjipto. Selama dalam perjalanan, dia hanya melihat nama dan foto itu. Perempuan yang seakan menghantuinya selama bertahun-tahun, perempuan yang selama ini dia harapkan bisa tiba-tiba datang di ulang tahunnya November kemarin. Raditya tersenyum getir, dia memegang wajah gadis yang ada di layar ponselnya, seakan berharap dia benar-benar bisa menyentuh pipi perempuan itu.
Ketika bertemu kembali dengan Cleo di MeetYou, sebenarnya dia hanya ingin minta maaf dan pamit. Raditya hanya ingin gadis itu berhenti mencari tahu tentangnya, berhenti menulis tentangnya, dan berharap gadis itu segera membencinya.
Mungkin, cinta memang tak berarti harus memiliki. Asal kamu tahu orang yang kamu cintai hidup baik-baik dan bahagia, kamu merasa semuanya sudah cukup. Maka, kemudian kamu akan menjauh, menjalani hidupmu dengan seseorang yang baru, dan berharap melupakan dia yang ada dalam masa lalumu.