Hingga sore hari, Cleo tak punya daya dan upaya untuk membuka percakapan dengan Raditya. Cowok itu pun hanya memainkan ponsel dan kacamatanya berkali-kali karena tahu cewek di sampingnya tidak bisa diajak komunikasi barang satu kalimat pun.
“Laper, nggak?”
Cleo menggeleng.
“Mau dengerin cerita lucu, nggak?”
Cleo menggeleng lebih kuat.
“Inget nggak, tiga tahun yang lalu kita juga diem-dieman kayak gini?” Raditya mulai memancing kenangan Cleo.
Gadis itu hanya mengembuskan napas sesaat dan menutup matanya untuk menyegarkan pikiran. Dia menurunkan sandaran kursi dan merapatkan jaketnya. “Gue mau tidur. Satu lagi, lo nggak perlu mancing gue buat ngomong ini itu, segala hal tentang kita dulu, karena gue udah lupa.”
Raditya memasang tampang kesal, “Gue tunggu lo sampai bangun, baru gue ajak lo ngomong!”
“Emang mau ngomong apaan, sih?” Cleo membuka mata, “Penting banget?”
“Waktu di MeetYou, lo kenapa remove gue dari friend list lo?”
Gadis itu menelan ludah. Dia tak langsung membuka suara. Sebenarnya, peristiwa ini pun terasa seperti mimpi bagi Cleo. Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya dia bertemu kembali dengan Raditya. Dia tak pernah meminta kepada Tuhan kejadian seperti ini, tapi sekarang dia duduk di samping Raditya, dengan perasaan yang tidak keruan.
Bibirnya tak mau membuka, dia hanya mencuri pandang pada Raditya, cowok yang masih tetap setampan dulu. Sebenarnya ada banyak sekali pertanyaan yang ingin segera keluar dari bibir Cleo, tapi dia bahkan tak punya keberanian lebih untuk mengungkapkan semua.
“Diem aje. Lo marah sama gue? Gue pergi gitu aja dan nggak nyari lo?” tanya Raditya dengan nada yang merangkak naik. “Jawab, dong, jangan diem aja. Gue ngerasa bersalah, nih.”
“Nggak usah gede rasa kali, gue juga nggak minta dicari lo!”
Raditya diam sebentar, dia mengatur emosi, “Sori, deh, bukan gede rasa. Gue cuma mau memastikan bahwa semua baik-baik aja.”