Memilih Menjemput Cinta

Lia Lintang
Chapter #2

Bab 2. Tawaran Baru

Pagi itu, akhirnya berangkat ke kantor diantar Priyo meski dengan perasaan tak nyaman. Pikiranku masih tertuju pada rumah kost yang membuatku tidak betah.

"Ada apa?" tanya Priyo, ketika menangkap wajahku yang pucat dan gelisah.

"Bapak kost sepertinya genit, aku tidak nyaman tinggal di tempat seperti itu," gerutuku menimpali.

"Kalau begitu, pindah saja 'kan beres," tukas Priyo, memberiku saran.

"Gak segampang itu, aku 'kan sudah terlanjur bayar kost. Ga apa-apa lah aku coba sebulan dulu," sergahku, memikirkan belum ada pemasukan.

"Kalau aku yang bayar, mau pindah?"

"Umm ... aku coba aja dulu, nanti kalau emang aku ga kuat minta tolong," ucapku, kuselingi senyum.

Priyo adalah kekasih sejak SMA. Wajar jika kami dekat, sebelum ke kantor dia selalu mengajakku sarapan pagi terlebih dahulu. Entah itu di pedagang kaki lima atau bahkan di bubur Pasundan langganannya.

***

Aku mempercepat langkahku ketika mencapai gerbang masuk kantor tempatku bekerja. Ini hari pertama kali aku bekerja. Pasti gugup.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling kantor, beberapa karyawan dan karyawati menatap ke arahku. Semoga tidak ada yang salah dengan penampilanku, jika tidak maka aku akan sangat malu.

"Pagi," sapaku pada siapapun yang berpapasan.

Maklum, aku pegawai baru. Jika kurang sopan maka akan terjadi masalah padaku. Mereka membalas ramah, meski ada beberapa yang menatap sinis menunjukkan sikap tidak suka kepadaku. Meski aku sendiri kurang mengerti apa sebabnya.

Beberapa dari mereka mengantri check clock. Sementara aku yang belum memiliki name tag memilih berdiam diri duduk di kursi tempat para staf makan.

"Lily, sini ikut aku," sapa seorang pria yang begitu familiar bagiku.

Aku mengamatinya. Mencoba mengingat ia siapa, berjaga-jaga jika saja dugaanku salah.

"Mas Adi Wijaya," ujarku memastikan.

"Ya. Aku HRD di sini. Maaf baru sempat negur, sibuk banget soalnya. Ayo ikut ke ruanganku, bikin nametag, sambil berkeliling aku kenalin ke seluruh staf," jelasnya.

"Umm ... aku panggil Bapak ya, Mas. Ini 'kan di kantor," ujarku.

Lihat selengkapnya