Di pinggir Sungai Bengawan Solo, kehidupan tampak berjalan dengan ritmenya yang tenang, jauh dari keramaian. Sumi, seorang perempuan tua yang hidup sebatang kara, tidak tahu apa yang sedang terjadi di kota Solo.
Sumi tinggal di sebuah rumah kecil di dekat sungai, yang terbuat dari campuran tembok dan papan kayu bekas yang sudah mulai rusak di sana-sini. Meski begitu, ia tidak pernah merasa hal itu menjadi masalah. Setiap hari, rutinitasnya selalu hampir sama: bangun pagi, mengerjakan pekerjaan rumah seadanya, lalu mengupas ubi yang diambil dari juragan rambak romeo, dan pergi ke sungai untuk mencuci, mandi, serta mengambil air. Di usianya yang sudah lebih dari 80 tahun, Sumi masih tampak bugar, dengan tubuh yang tetap kuat menjalani rutinitasnya.
Rumah Sumi memang cukup jauh dari permukiman penduduk. Letaknya agak tersembunyi tak jauh dari pinggir sungai, seakan menjadi bagian dari alam yang melingkupinya. Keadaan rumahnya lusuh dan hampir terbengkalai, tidak terlalu menarik perhatian orang-orang. Generasi yang lebih muda tak banyak tahu tentang siapa Sumi sebenarnya. Mereka hanya mengenalnya sebagai perempuan tua yang hidup sendirian dengan usia melebihi usia rata-rata orang kebanyakan. Di mata penduduk sekitar Sumi hanyalah sebuah misteri yang terabaikan.
Sumi tidak pernah memiliki sumur, sehingga ia selalu menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari. Baginya, air sungai Bengawan Solo adalah sumber kehidupan. Ia membuat lubang serapan di pinggir sungai untuk mendapatkan air yang lebih bersih, baik untuk minum maupun memasak. Sungai itu adalah bagian penting dari hidupnya, sesuatu yang tak pernah bisa ia tinggalkan.
Hari itu, meski terasa lebih panas dari biasanya, tapi hal itu tidak terlalu Sumi pikirkan. Baginya, kehidupan di pinggiran sungai selalu tenang, jauh dari riuh dunia luar yang cepat berubah. Setelah menyelesaikan pekerjaan mengupas ubi, Sumi sejenak beristirahat sebelum nantinya pergi ke sungai untuk ambil air dan mencuci. Siang itu semuanya terasa sunyi. Kesunyian yang ia rasa asing. Mungkin karenanya Sumi menjadi berpikir tentang masa lalu bersama suaminya. Di tengah lamunannya, tiba-tiba Sumi teringat sesuatu yang disimpan di rumahnya. Sesuatu yang baginya penting. Sumi bangkit, lalu berjalan menuju ke salah satu sudut ruangan yang gelap. Di tempat itu, di bawah tumpukan barang-barang lama, ia mengambil sesuatu, sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu. Kotak itu dibawa ke amben dan membukannya. Di dalam kotak itu tersimpan beberapa foto hitam putih dari masa silam, surat-surat usang, dan medali kecil yang terbuat dari perak.
Medali itu milik suaminya, sebagai tanda jasa bahwa ia seorang pejuang perang kemerdekaan. Sumi masih ingat dengan jelas bagaimana suaminya pergi berperang, meninggalkannya sendiri dengan janji akan kembali setelah semuanya usai. Namun, suaminya tidak pernah kembali. Sejak saat itu, Sumi hidup sendirian, berjuang untuk tetap bertahan di dunia yang terus berubah. Foto-foto dalam kotak itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa dari kehidupan yang pernah dijalani bersama orang-orang yang ia cintai. Sumi memandangi foto-foto itu dengan mata berkaca-kaca. Baginya, semua kenangan masa lalu tetap hidup. Ia memegang medali itu dengan tangan gemetar, seolah merasakan kembali kehadiran suaminya.
Dalam keheningan itu, Sumi merenung. Mungkin dunia di luar sana telah berubah, tapi di pinggir Sungai Bengawan Solo, hidupnya tetap sama, penuh kesunyian, kenangan, dan ketabahan. Meski ia tak sering keluar dari rutinitasnya, tapi sesekali ia tetap mendengar percakapan warga, suara-suara ribut, atau teriakan yang tak sengaja terdengar dari kejauhan. Namun, ia tidak terlalu memperhatikan hal itu. Ia memilih mengingat semua cerita dari masa lalunya yang kini hanya tinggal bayangan.
Sumi, sosok tua yang seolah menjadi peninggalan hidup dari masa lalu yang jauh. Meski dunia di sekitarnya berubah, ia tetap mempertahankan rutinitasnya. Kisah bahwa Sumi adalah anak dari Ki Bau Soroh, pimpinan masyarakat kuli kapal yang dulu menguasai tepian sungai, mungkin masih dalam ingatan sebagian kecil penduduk. Namun, kebanyakan dari mereka tak peduli lagi. Mereka lebih sibuk dengan kehidupan modern yang terus bergerak maju, meninggalkan Sumi sebagai satu-satunya saksi hidup dari generasi yang telah hilang.
Sumi adalah satu-satunya warisan hidup dari komunitas yang dulu penuh semangat menghidupi tepi sungai. Di masa lalu, orang-orang datang ke sungai itu untuk bekerja, berdagang, dan hidup dari aliran airnya. Tapi kini, sungai itu hanya menjadi latar belakang bagi kehidupan kota yang terus berkembang. Rumah Sumi, yang berdiri agak jauh dari rumah-rumah warga lainnya, semakin membuatnya terasing. Warga jarang berinteraksi dengannya, baik karena jarak maupun karena perbedaan generasi yang sangat besar.