Awan hitam terus bergerak perlahan di angkasa, semakin menutupi langit dan menciptakan suasana yang semakin pekat. Udara yang tadinya sekadar hangat lambat laun berubah menjadi panas. Waktu baru menunjukkan tengah hari, namun langit kelabu dan matahari yang tertutupi oleh awan membuatnya tampak seperti senja telah menjelang, memancarkan nuansa muram ke seluruh penjuru tempat itu.
Sembari kembali mulai mencuci, sesekali Sumi menatap awan yang gelap bergerak di atasnya. Awan-awan itu tampak seperti membentuk gambar yang aneh, seperti sosok banteng yang sedang mengamuk. Dua celah di awan menyerupai mata sang banteng, dan sinar matahari kemerahan yang menembus celah itu tampak seperti lampu sorot yang menambah kesan menakutkan. Sumi merasa gambar itu seperti pertanda bahwa ada sesuatu yang akan terjadi. Meski Sumi telah terbiasa dengan segala keadaan, tapi kali itu ia merasakan ketidaktenangan hingga membuat perasaannya tidak nyaman.
Sesekali, tangan-tangannya terhenti. Ia seolah terseret oleh pikirannya yang melayang jauh, kembali ke masa lalu yang tak terelakkan. Meski pikirannya melayang-layang ke tempat lain tapi matanya yang mulai rabun sesekali memandang jauh ke arah air sungai yang tenang. Lamunannya selalu merujuk kepada kenangannya dulu ketika bersama keluarganya, tentang kehidupan yang dulu penuh keceriaan dan hiruk-pikuk di dermaga dekat tempatnya berada kini. Sungai Bengawan Solo yang dulu gemerlap dan penuh aktivitas kini hanya menjadi saksi bisu perjalanannya yang sepi.
Tiba-tiba, suara “byur” terdengar dari arah sungai. Bunyi itu mengentak kesadarannya. Sumi tersentak, matanya mencari-cari sumber suara. Tangan tuanya terhenti di atas pakaian yang sedang ia cuci, sementara telinganya berusaha menangkap lebih banyak suara. Matanya yang sudah tak lagi tajam tak mampu menangkap sesuatu yang berbeda di sekitarnya. Namun, telinganya masih cukup tajam untuk mendengar bahwa suara itu bukanlah suara air biasa. Suara itu terdengar seperti sesuatu yang besar jatuh ke dalam sungai.
Dia menunggu beberapa saat, berharap sesuatu akan terlihat atau terdengar lebih jelas. Namun, setelah beberapa saat, tidak ada lagi suara, hanya keheningan yang kembali menyelimuti sungai. Meski suasana kembali tenang, pikiran Sumi tetap terusik. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang jatuh ke dalam sungai? Pikiran-pikiran itu mengganggu ketenangannya, memaksanya untuk mengingat kembali kenangan lama tentang sungai ini.
Sumi teringat tentang Dermaga Beton, sebuah bangunan tua yang berada tidak jauh dari tempatnya sekarang. Dermaga itu, dulu, merupakan pusat kehidupan di pinggiran Sungai Bengawan Solo. Kapal-kapal besar pernah singgah di dermaga itu, membawa penumpang dari berbagai penjuru pulau Jawa. Kehidupan di sekitar dermaga begitu ramai, dengan orang-orang berdatangan untuk berdagang, menjual barang-barang mereka, atau hanya sekadar menonton lalu lintas kapal yang tiada henti. Ia sendiri sering ikut membantu ibunya berjualan makanan di sekitar dermaga. Jagung dan ketela rebus yang dijualnya selalu laris manis, terutama bagi para penumpang yang baru turun dari kapal dan mencari makanan ringan.
Namun, itu semua hanyalah masa lalu. Kini Dermaga Beton hanya tinggal reruntuhan bangunan tua yang lapuk dimakan waktu. Sebagian besar dermaga sudah runtuh, menyisakan potongan-potongan beton yang tertinggal, berlumut, dan terendam oleh air sungai yang lambat menggerusnya. Sumi menduga, mungkin suara gemericik air yang tadi ia dengar berasal dari bagian dermaga yang runtuh. Beberapa kali sebelumnya, Sumi juga pernah mendengar bangunan dermaga itu runtuh sedikit demi sedikit, menciptakan suara serupa. Bagi orang lain, bangunan itu tak lagi berarti, hanya puing-puing tak berguna. Tapi bagi Sumi, Dermaga Beton menyimpan cerita masa lalu yang penuh kenangan, meski kini ia hanya bisa memandanginya dengan hati yang pilu.
Saat ia masih tenggelam dalam kenangan masa lampau, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang bergerak di tengah aliran sungai. Sesuatu yang berwarna putih, tampak setengah mengapung, terbawa oleh arus sungai yang perlahan. Jantung Sumi berdetak lebih cepat. Matanya menatap sosok putih yang semakin mendekat. Sejenak, ia teringat akan mitos lama yang sering diceritakan oleh warga desa, tentang buaya putih yang konon menghuni Sungai Bengawan Solo. Meski Sumi tak pernah benar-benar percaya pada mitos itu, bayangan tentang buaya putih kini muncul di benaknya, mengusik ketenangannya. Mungkinkah yang ia lihat memang buaya putih?
Perlahan-lahan, Sumi maju mendekat ke tepi sungai. Ia berusaha lebih waspada, memastikan penglihatannya yang sudah mulai kabur. Hatinya mulai dipenuhi oleh perasaan waswas. Sosok itu terus bergerak mendekat, namun semakin dekat sosok itu datang, semakin jelas bahwa yang ia lihat bukanlah buaya putih. Sosok putih itu ternyata adalah tubuh seorang perempuan yang mengapung di sungai, terbawa arus. Pakaian putih yang dikenakan perempuan itu menyilaukan mata Sumi sejenak. Rambut hitam panjang perempuan itu tergerai lepas, mengambang di permukaan air.