Belajar itu tidak memiliki batas.
Batas waktu dan pada siapa kita belajar.
Bahkan jangan berhenti sampai nanti,
waktu yang menentukan kau harus berhenti.
(Sabiru Anggara)
🍁🍁🍁
Tidak sedikit orang tua yang pasrah begitu saja pada pihak sekolah. Bahkan saat anaknya melakukan pelanggaran maka yang ditanyakan adalah pihak sekolah. Mereka mempertanyakan bagaimana cara mendidik anak sampai-sampai peraturan yang ada masih juga dilibas.
Namun, tidak sedikit juga orang tua yang mulai sadar bahwa pendidikan di dalam keluarga jauh lebih penting dan akan melekat dibandingkan pelajaran di jenjang formal. Meski begitu pertemuan seperti parenting class juga masih dibutuhkan untuk mengedukasi para orang tua.
Biru masih mendengarkan dengan saksama wejangan dari kepala sekolah. Meski hari ini hari pertamanya menjadi bagian SMA Pahlawan Bangsa (SMAPSA), tetapi dia sudah siap dengan segala kegiatan dan tugas yang disodorkan padanya.
"Mas Biru juga sudah pasti lebih paham bagaimana menghadapi karakter siswa yang beragam ini. Meski begitu saya harap Mas tidak hanya mengandalkan logika, tapi juga hati. Karena kepekaan hati itu jauh lebih berharga terutama bagi mereka yang memang masalah utamanya dari keluarga."
"Siap, Pak. Insya Allah saya akan berusaha sebaik mungkin, tapi saya tetap minta pendampingan dari guru BK lama atau wali kelas yang memang biasa menghadapi kasus mereka," pinta Biru.
Belum juga Pak Rudi memjawab, suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh. Sesosok laki-laki berkacamata dengan rambut belah pinggir memohon izin untuk bergabung.
"Mas Biru, ini Pak Ardan, beliau adalah wali kelas XI IPS. Beliau juga sering mendampingi anak-anak yang bermasalah."
"Sabiru Anggara."
"Rashanggara Ardana," balas Pak Ardan sembari menjulurkan tangannya membalas jabat tangan dari Biru.
"Pak Ardan sibuk? Kalau memang lagi kosong bisa menemani Mas Biru untuk berkeliling dan berkenalan dengan warga sekolah kita," titah Pak Rudi.
"Jam ngajar masih nanti, di jam kedelapan, Pak."
Setelah Pak Rudi mempersilakan Biru dan Pak Ardan keluar ruangan, Pak Ardan lantas membawa Biru ke ruang guru dan mengenalkannya pada beberapa guru yang sedang bebas jam mengajar.
Sewajarnya anggota baru, mereka banyak bertanya tentang latar pendidikan dan pengalaman Biru di dunia pendidikan. Biru menjawabnya dengan sangat canggung karena ini adalah langkah pertamanya memasuki dunia pendidikan.
"Pak Biru, mari saya antarkan ke ruang konseling supaya bisa beristirahat."
"Huft, Mas Ardan menyelamatkan saya. Jujur saja saya kelabakan meladeni pertanyaan dari guru-guru tadi. Boleh saya panggil Mas saja? Masa masih muda sudah dipanggil Bapak, sih?
"Sesukanya Pak Biru saja."
"Waktu di ruangan kepsek tadi, Pak Rudi nyebutin beberapa nama siswa yang langganan masuk buku catatan pelanggaran. Itu semacam tradisi apa emang selalu bermasalah?"
Pak Ardan membuka pintu ruang konseling dan mengajak Biru untuk duduk terlebih dahulu. Biru yang masih merasa canggung hanya diam dan mengamati gerak-gerik Pak Ardan.
"Setiap saya menangani siswa, itu pasti ada hubungan sebab-akibat. Nah, di sini yang paling sering adalah masalah keluarga. Kebanyakan seperti itu."
Pak Ardan duduk di hadapan Biru dengan dibatasi sebuah meja kaca yang ditutup dengan taplak batik. Dua buah botol air mineral tersaji di atas meja.