Sebab langit berjauhan dengan bumi.
Karena utara dan selatan terpisah oleh jarak.
Maka jangan berkecil hati jika ternyata berbeda dijadikan alasan.
(Sabiru Anggara)
🍁🍁🍁
Biru seperti makan buah simalakama. Tidak segera pulang bayangan ibunya terus mengikuti dan membuatnya tidak enak hati. Ingin pulang, sudah pasti taring dan tanduk sang ibu negara menantikan sasaran empuk untuk diseruduk.
"Ini sama saja maju kena mundur kena. Belum lagi dua algojo yang siap eksekusi kapan saja. Bisa kelar hidup ini." Biru menggerutu sesaat setelah keluar dari UKS mengantarkan Arina, anak didiknya yang baru saja mendapatkan tindakan tidak menyenangkan itu.
"Pak Biru kesal sama siapa? Siapa yang kelar hidupnya? Tadi saya cari kenapa menghilang begitu saja?"
Biru mengelus dadanya, dia sedikit kaget karena mendapati Ardan sudah ada di hadapannya. "Hidup saya dalam masalah Mas! Mas Ardan cerita sama siapa kalau saya cari tempat indekos?"
"Saya hanya cerita sama Pak Rudi saja, kebetulan pas Pak Biru di gerbang, saya dicegat dan ditanya mau ke mana. Karena nggak bisa ngelak, ya, jujur saja sekalian."
"Mas Dan jujur banget! Sekalinya jujur langsung sama dedengkotnya SMAPSA dan beliau langsung lapor ke oran tua saya. Mas, kalau besok saya nggak masuk, berarti saya tinggal nama dan habis dibantai sama ayah dan ibu saya."
Biru beranjak dan meninggalkan Ardan yang tidak tahu harus berkata apa lagi pada teman barunya itu. Diamatinya lelaki berkemeja biru langit itu. Dia berjalan sambil mengibaskan tangannya pada tanaman di taman depan UKS.
Belum lagi kepalanya yang beberapa kali menggeleng, kemudian langkah kaki yang dihentakkan dengan keras, tampak sekali ada kesal dan gusar dari juniornya yang baru saja menjabat menjadi guru BK itu.
Setelah berpikir seharian, Biru mantap untuk pulang. Apalagi sang kakak yang sudah memberitahukan bahwa personil keluarga Anggara sudah berkumpul bahkan sejak azan Asar belum berkumandang. Mantap sekali persiapan keluarganya untuk mengadakan persidangan untuk dirinya.
Langkah kaki Biru tampak ragu-ragu untuk masuk ke bangunan berlantai dua itu. Mulutnya juga kompak seolah kaku untuk sekadar mengucap salam seperti biasanya. Selama perjalanan pulang entah sudah berapa kali lelaki itu berdoa mohon perlindungan.
"Astagfirullah, Bang Lano bikin kaget aja!" ujar Biru begitu kakaknya membuka pintu lebar-lebar.
"Ngapain mondar-mandir? Bukannya langsung masuk nih anak. Itu Ayah sama Ibu sudah nungguin." Delano lantas menarik dan merangkul sang adik. "Sabar-sabar, ya! Sudah siapin surat wasiat? Abang rela, kok, nerima koleksi replika Gundam punyamu. Lumayan buat dilelang, Dek."
"Bang, pliss, bantuin Adek kali ini. Sekali ini saja bantuin buat bujuk Ayah sama Ibu!" Biru menangkupkan kedua tangan di depan dada sambil menunjukkan wajah melasnya.
"Boleh, tapi nanti balasannya apa?"
"Semoga Allah membalas jasa Bang Lano dengan balasan yang setimpal."