Kehadiran itu bisa dianggap dan tidak.
Bagaimana cara mereka menerima tidaklah penting.
Terserah mau menerima atau tidak.
Satu hal yang pasti, tempatkan dirimu sebagaimana mestinya.
Jangan memaksa, jangan pula terpaksa.
(L.K)
🍁🍁🍁
Untuk sebuah penerimaan, ada yang menganggap itu mutlak. Namun tidak untuk Sabiru Anggara, dia lebih memilih tidak memaksakan pada keadaan supaya bisa diterima.
Menghindar dari keramaian bukanlah tipenya. Meski sebenarnya keramaian justru menjadi hal yang membuatnya sesak. Karena dirinya yang terlalu sensitif, sering dianggap ada dan tiadanya tidak berpengaruh apa-apa.
Lelaki itu sudah kenyang pada keadaan yang nyatanya tidak berpihak. Beberapa teman-teman semasa sekolah dulu justru memanfaatkannya. Dia sering mendapat perundungan, dan menuruti kemauan temannya supaya bisa diterima.
Akhirnya, semua itu menjadi pelajaran untuknya. Lebih berhati-hati dalam berkawan, dan juga lebih berhati-hati dalam bertindak meski kadang emosinya sering di luar batas.
Biru paham betul sebagian siswa di SMAPSA masih belum menerima keberadaanya. Itu tidak masalah karena pada prinsipnya, "Tak kenal maka tak sayang, tapi pas sayang bakal susah dibuang."
Biru menyelinap di antara kerumunan Osis SMAPSA yang mempersiapkan acara untuk Dies Natalis ke-25. Ulang tahun perak, begitu mereka menyebutnya. Beberapa atribut sudah terpasang, sedangkan beberapa lainnya masih menunggu anggota lainnya.
"Tumben Pak Ardan nggak kelihatan, ya?" Salah satu siswi anggota Osis dari kelas Bahasa menoleh pada teman di sebelahnya.
"Pak Ardan lagi nugas. Maklumi aja, orang sibuk mah beda!" Rista si sekretaris Osis menjawab.
"Biasanya juga ngabari kalau nggak bisa gabung, tapi karena mendadak mungkin lupa mau bilang." Gadis dengan rambut ekor kuda menjawab dengan senyum manisnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" Biru tiba-tiba saja menyela percakapan para srikandi Osis SMAPSA.
"Pak Biru? Kok tiba-tiba di sini?" ujar Arina, gadis pemilik rambut ekor kuda.