Honeymoon Project

Andita Rizkyna N
Chapter #3

DUA

H-2

Dia ikat rambut hitam nan panjang sedikit di bawah pundak dengan gaya kuncir kuda. Blouse berwarna kuning pastel dipadu celana hitam kain yang dia kenakan terlihat apik bersanding dengan kulitnya yang putih. Diberinya sedikit bedak pada wajahnya dan lipstik berwarna baby pink. Dia tidak memerlukan eye shadow atau eye liner, karena menurutnya jika ditutupi oleh bingkai kaca mata toh tetap tidak terlihat. 

Menurutnya panampilan adalah nomor dua, yang nomor satu adalah kualitas diri. Poin yang akan menunjukkan apakah orang itu mampu bertahan dalam segala kondisi karena hidup itu persaingan. Setelah yakin jika dirinya sudah rapi, dia meraih tas jinjingnya dan keluar kamar untuk sarapan. 

Di meja makan sudah absen kakak dan juga orang tuanya. Meri, kakak Kane bekerja sebagai dokter di rumah sakit umum. Jarak umur mereka tiga tahun. Penilaian Kane terhadap Meri? Perfect! Selalu menjadi pusat perhatian. Envy? Ehm ... just a lil' bit.

Ayah Kane pensiunan pegawai swasta, pria fleksible favorit Kane kecil. Sayangnya semakin tinggi pangkat ayahnya, semakin sedikit juga waktu untuk Kane, sehingga dari waktu ke waktu ada kerenggangan hubungan antara ayah dan anak. It's normal, menurut Kane. Semua orang bisa berubah. Setidaknya Kane pernah merasakan kasih sayang tanpa syarat dari ayahnya.

Terakhir Ibu Kane, masih aktif sebagai guru bahasa Inggris di SMP Negeri. Kane tidak tahu bagaimana menilai ibunya. Terlalu ... ah, mungkin hanya ada satu kata dalam benaknya, penuntut. Kane remaja pernah mengatakan ibu akan berubah setelah negara api menyerang, kepada Meri.

Kurang satu tahun lagi ibu Kane akan pensiun. Harusnya beliau merasa bersyukur serta tenang jika kedua anaknya sudah mentas pendidikan dan sekarang bekerja. Namun, kekhawatirannya tentang masa depan anak-anaknya masih saja selalu menghantuinya.

“Kok Ibu belum berangkat?” Kane duduk di sebelah Meri dan menyendok nasi ke atas piringnya.

“Ibu hari ini ijin sakit. Vertigo Ibu kambuh.”

“Ibu kenapa nggak pensiun dini saja. Aku sama Kane bisa membiayai Ibu dan Ayah.” Sedari tahun kemarin Meri meminta ibunya untuk pensiun dini karena sudah lima tahun terakhir ini kesehatan ibunya menurun seiring bertambahnya usia.

“Makanya cepat nikah biar Ibu tenang kalau pensiun.”

Kane melirik kakaknya. Topik yang selalu ingin Kane hindari, tapi terlambat. Dia terkunci dengan acara sarapan. Mungkin setelah ini akan ada nasihat yang menguras hatinya.

“Nggak ada hubungannya Bu. Jodoh nggak seperti IPK yang harus diperjuangkan karena mutlak. Santai saja, bentar lagi aku dilamar kok.” Meri mengucapkannya dengan senyum-senyum jayus. Seketika enam pasang mata menatap ke arahnya dengan tatapan bertanya. Meri yang ditatap seperti itu hanya mengulum senyum.

“Kane juga. Tahun depan ada tes CPNS, kamu ikut ya. Sayang, kan ijazahmu kalau kamu cuma begini-begini saja.”

"Sudah tho, Bu. Kane saja enjoy dengan pekerjaannya." Ayah Kane tahu perasaan anak bungsunya. Tapi tahukah kamu the power of "emak-emak"?

"Ora iso ngunu tho*, Yah. Kane harus menata masa depannya dengan baik dan benar. Kalau ikut CPNS, masa depannya terjamin. Kalau hanya bekerja di tempat yang sekarang, sudah nggak ada jenjang karirnya, gaji juga segitu-segitu saja. Belum nanti kalau ada PHK."

Kane melihat jam dinding. “Yah, Bu, Kane berangkat. Nanti macet.” Nasi yang dia ambil tersisa sedikit, malas sudah untuk menghabiskannya. Mood-nya menguap begitu saja. Dia beranjak dari kursi dan mencium tangan Ayah dan Ibu. Gadis itu tidak terlalu suka dengan percakapan mengenai jodoh dan pekerjaan. Selalu saja terpojokkan.

Entah sejak kapan Kane menjadi orang yang pendiam dan menarik diri dari segala macam pergaulan. Pergaulan dengan banyak orang membuatnya menciut dan sesak. Seingatnya sewaktu kecil dia tidak begitu.

Waktu awal bekerja, Jena sering menegurnya persoalan cara kerjasama tim, cara berkomunikasi dan cara penampilan. Namun kepiawaian dalam bekerja individu dan ide-ide yang cemerlang, membuatnya masih bertahan di kantor itu.

Kane memarkirkan sepeda motornya di depan ruko. Baru beberapa sepeda yang terparkir di sana, mobil Jena pun belum terlihat. Tanpa perlu mengecek penampilannya lagi seperti pegawai lainnya, Kane melangkah memasuki ruang karyawan yang berada di belakang tempat penerima tamu. Kedua ruang itu dipisahkan oleh partisi gypsum. Kane duduk di salah satu meja dengan komputer yang telah menyala.

“Ben! Kamu yang nyalakan ini? Aku pinjam dulu ya!” Kane menoleh ke arah cowok yang sedang sarapan di sofa dekat tangga. Cowok itu mengacungkan jempolnya karena mulutnya sibuk mengunyah.

Kane mulai mencari alamat dan kontak butik yang akan dituju pasangan Charles dan Katlyn. Dia mencatatnya terlebih dahulu karena butik masih akan buka satu jam lagi.

“Lalu apa lagi ya?” Kane melihat catatannya. Selain kamar hotel yang nyaman, kliennya tidak memerlukan hal lain lagi. Mereka seperti pindah tempat tidur saja, tanpa melakukan kegiatan yang seru. Tidak ada jalan-jalan ke mana atau sesuatu untuk mengabadikan momen romantis Seharusnya tidak terlalu rumit hanya saja perasaan Kane tidak enak.

Dia membuka e-mail mungkin ada balasan dari Charles. Benar saja firasatnya, kliennya menambahkan beberapa poin untuk bulan madunya. Dia menginginkan makan malam romantis dan juga private beach.

“Sore hari? Buat liat sunset?” Kane mengetuk ujung pena pada meja. Dia pacu pikirannya untuk mendapat jawaban. Rasanya hari ini otaknya sesikit tumpul gara-gara percakapan tadi pagi. Emosinya menguras tenaga yang diolah dari karbohidrat saat sarapan. Salahnya jika tadi dia hanya makan sedikit.

“Sudah selesai Ne?” Beni sudah berada di samping Kane.

“Eh Ben. Bentar lagi ya. Masih cari referensi private beach nih.”

“Di mana? Bali?” Kane mengangguk sambil memainkan mouse.

“Banyak. Mau menginap di mana?”

Lihat selengkapnya