“Ibu mau jodohkan kamu dengan anak teman Ibu.”
Kane yang baru saja menutup pintu rumah mendadak bego gara-gara kalimat perintah mutlak. “Jodoh apa?”
“Loh yang tadi siang. Nggak lupa, ‘kan?”
Kening Kane berkerut, dia paksa berpikir ulang apa yang terjadi tadi siang. Semua pikirannya penuh dengan rencana-rencana bulan madu kliennya. Alisnya semakin bertaut berusaha mengingat. Seketika dia terbelalak, tidak menyangka Ibu begitu serius membicarakannya hari ini. Maksudnya dari kata “nanti” adalah kapan-kapan bukan sekarang juga.
“Er ... Kane mandi dulu ya Bu. Gerah banget di luar.” Tanpa menunggu jawaban dari sang Ibu, dia bergegas ke kamar.
Kane membanting tubuhnya di atas tempat tidur. Isi kepalanya sudah over load, ditambah lagi dengan tuntutan ibunya. Dia malas jika membicarakan pacaran, perjodohan, menikah belum lagi nanti urusan anak pertama, anak kedua. Tidak hanya sampai situ saja pasti ada pertanyaan berikutnya anaknya sudah bisa apa, sekolah di mana, dan pertanyaan semacamnya yang membuat pikiran lebih pusing dari sekedar pekerjaan. Apa lagi Kane masih teringat bagaimana Anisa yang kesakitan saat melahirkan, mendadak bulu kuduknya meremang horor.
Tidak! Dirinya belum siap. Lagipula akan terasa sesak jika harus menjalani hubungan yang dipaksakan. Bukankah pernikahan dilandasi saling menyayangi dan mencintai. Dia tidak mau tali pernikahannya putus ditengah jalan karena belum saling memahami. Lebih baik dia menunggu lama, daripada terburu-buru tapi menyesal kemudian. Lalu terakhir dan terpenting adalah kesiapan mental menghadapi samudera rumah tangga.
Ketukan pintu beberapa kali membuatnya membeku. “Kane.” Ibu membuka pintu kamarnya dan berdiri di dekat si anak bungsu.
“Mau ya ibu jodohkan?” Ibu melihat ekspresi masam Kane, “atau kenalan saja lah dulu.”
“Bu, kenapa nggak Mbak Meri saja dulu. Dia yang paling tua.”