Monochrome Cafè, tidak terlalu ramai dengan pengunjung, hanya ada beberapa orang di sana dan mereka sangat tenang. Tempatnya tidak terlalu besar tetapi sangat nyaman, juga tidak terlalu jauh dari kampus. Ada air conditioner dan free wifi, tapi di hari-hari aktif tempat ini tidak terlalu diminati, hanya hari sabtu dan minggu saja terlihat ramai. Sejak kuliah, kafe ini sudah menjadi langganan Kane untuk menyendiri dan membaca buku di sela-sela dia menunggu jam kuliah berikutnya.
“Satu strawberry milkshake. Minum sini.”
Gadis itu mengambil tempat di dekat dinding kaca menghadap jalan. Dia melempar tas pakaian di kursi sebelahnya. Pandangannya menatap para pengendara di jalanan, kadang ada juga pejalan kaki yang lewat. Pikirannya melayang jauh ke belakang, mengulik masa lalu ketika dia menemukan kafe ini. Tempat dia melarikan diri dari kehidupan nyata dengan menyelami novel-novel yang memenuhi imajinasinya.
Tumpukan novel itu mampu mengajaknya berkelana menemukan cinta impiannya berupa tokoh pria yang sempurna, atau teman sejati yang tak ada dalam hari-harinya, atau keajaiban dalam hidupnya yang terasa monoton. Belajar, belajar dan belajar. Hingga dia lupa kapan terakhir kali bermain dengan teman-temannya.
Ayahnya sibuk setelah kenaikan pangkat dan ibunya sebagai guru bahasa Inggris menuntut dirinya suatu saat seperti beliau. Lalu Meri, sang kakak? Dia bebas terbang ke arah mana yang dia mau. Kenapa? Karena Meri jauh lebih cerdas, sedangkan dia perlu merangkak untuk mencapainya. Setiap dia protes dengan tidak berimbangnya perlakuan antara dia dan Meri, ibunya mengatakan, Meri sudah tahu apa yang harus dia kerjakan atau contohlah kakakmu.
Kane tidak pernah membenci kakaknya yang terlahir jauh lebih sempurna dibandingkan dirinya. Dia hanya kesal dan kecewa karena perlakuan yang berbeda dari sang ibu. Dia selalu berusaha melakukan yang terbaik agar Ibu mau meliriknya, walau sebentar. Tanpa dia sadari pemikiran itu terbawa hingga kini. Membuat Kane menjadi orang yang ambisius dan menginginkan kesempuranaan dalam melakukan suatu hal.
Dia membuka lagi e-mail untuk mengecek balasan dari Charles, yang sayangnya tidak ada.
Apa karena aku bertengkar sama Ibu, jadi pekerjaan nggak berjalan lancar?
Kane menggeleng, dirinya membantah jika sedang bertengkar dengan Ibu. Dia hanya mengemukakan pendapat, tidak salah bukan? Saat ini belum ada pikiran menikah dalam benaknya. Pekerjaan masih menjadi mayoritas dalam hidupnya.
Segelas milkshake yang terlihat segar menghampiri Kane bersama dengan senyuman ramah pegawai kafe. Dengan balasan senyum dan ucapan terima kasih dari Kane, pegawai itu melenggang pergi. Kane menyeruput sedikit minuman manisnya. Memang terasa segar dan legit di lidah, tapi tidak bisa menghapus kekhawatirannya.
“Kane?”
Kane yang merasa namanya dipanggil, mendongak melihat seseorang yang menyapanya. Dahinya mengerut kemudian berubah jadi terkejut. “Arkesh?”
Pria itu tersenyum dan duduk di depan Kane. “Gimana kabarmu?”
“Baik. Kamu kok di sini?”
“Lagi istirahat ngantor, jadi mampir ke sini.”
“Oh! Kamu suka kemari?”
Arkesh mengangguk. “Biasanya aku juga pesan kopi di sini untuk acara kantor.”
Kane mengangguk. Keheningan menyelimuti membiarkan mereka berkutat dengan pikiran masing-masing.
“Kamu kerja Ne?”
“Iya di honeymoon planner. Kamu tahu?”
“Oh! Pernah dengar sih tapi nggak terlalu tahu soalnya aku sendiri belum nikah jadi nggak mencari tahu, dari pada nanti kepengin.”
Kane tertawa. “Belum menikah? Really? Padahal dulu kamu gonta-ganti cewek loh.”
“The most wanted boy,” bisik Kane dengan dramatis.
Arkesh terbahak. “Ah ngeledek kamu! Tapi emang bener sih aku dulu ganteng dan digilai banyak cewek.”
“Pede banget kamu!” Kini kane yang tertawa. “Terus ke mana mereka?”
Arkesh terkekeh. “Hilang. Dicuri kucing.”
“Eh, ikan asin dong.”
“Tapi memang semua sudah jadi milik orang.” Arkesh menghela nafas panjang. “Waktu itu aku belum siap menikah, belum mapan, dan jiwa mudaku masih memberontak.”
“Idih lebay kamu! Terus sekarang?”