Kane ingin mengistirahatkan badan, terlebih pikirannya. Persoalan cinta membuat hampir delapan puluh sembilan koma sembilan sembilan sembilan persen tenaganya terkuras habis daripada mengurusi pekerjaan yang ribetnya minta ampun.
Lampu kamar telah dia matikan, tubuhnya juga sudah direbahkan di atas tempat tidur yang nyaman, mata pun sudah terpejam. Namun, pikirannya masih berkeliaran seperti kuda liar yang mengembara ke negeri antah berantah. Alam yang belum pernah dia jamah bernama cinta. Kane terbangun dengan sebal. Kontrol atas dirinya telah lepas.
Dia duduk di tepi tempat tidur. Menunduk dalam, meresapi setiap rasa yang mengganggunya. Seketika teringat dengan undangan kakaknya tadi. Kane beranjak dan mengetuk pintu kamar Meri yang sedikit terbuka.
“Masuk.”
Meri duduk menghadap buku-buku yang super tebal di meja belajarnya. Kane menutup pintu perlahan agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka.
“Kenapa, Ne?” Meri mengalihkan perhatian dari buku kedokteranya.
Kane masih berdiri di dekat daun pintu. Ada bimbang untuk menceritakan kepada Meri. Ini masalah yang sangat pelik. Bisa jadi setelah Kane menceritakan, Meri malah memandangnya sebelah mata.
“Mbak, pernah suka nggak sama milik orang lain?”
Meri mengerucutkan bibir, matanya melirik langit-langit. “Sepertinya nggak pernah, deh. Cuma pernah sih, milik orang lain suka sama aku. Kenapa memangnya? Kamu suka sama pacar orang?”
Kane menggeleng. Dia menunduk, menatap kedua tangannya yang saling terkait. “Kalau aku suka sama suami orang gimana, Mbak?”
Mata Meri melebar. “Hah? Kenapa suami orang, Ne?”
“Nggak tahu, Mbak. Terjadi begitu saja.”
Meri menatap Kane meminta penjelasan lebih masuk akal.
“Dia klienku. Bulan madu kemarin istrinya menghilang. Lebih tepatnya selingkuh. Dia ngajak aku makan malam. Menggantikan istrinya yang nggak datang. Orangnya ....”
“Orangnya baik maksudmu? Klise, Ne. Tetap saja dia suami orang.”
“Tapi istrinya selingkuh, Mbak.”
“Terus, kalau selingkuh kenapa? Kamu berharap mereka bercerai?” Tatapan tajam Meri membuat Kane merasa bersalah. Kane menunduk, kemudian menggeleng.
“Tapi aku suka sama dia. Gimana dong, Mbak?”
Meri menghela nafas. Menatap adiknya penuh simpati. Dia merasa kasihan, baru merasakan jatuh cinta. Sekalinya jatuh tapi ke pelukan yang salah.
“Bisa jadi kamu hanya merasa kagum atau nyaman saja. Bukan perasaan suka atau cinta seperti kepada pasangan. Ne, kenapa nggak kamu terima tawaran Ibu? Siapa tahu pilihan Ibu cocok sama kamu.”