Kane melompat turun dari sepedanya. Setelah meletakkan helm, dia berjalan cepat ke arah restoran. Tiba-tiba saja dia putar arah, berjalan kembali ke sepedanya. Dilihatnya kaca spion yang memantulkan wajahnya yang kuyu, rambut berantakan dan lipstik yang telah pudar.
Tangannya merogoh tas mencari benda kecil dan panjang untuk menghiasi bibirnya. Dibukanya tutup lipstik dan diputar wadahnya agar stik berwarna pink itu mencuat keluar. Dioleskan secara rata pada area bibirnya. Kane bercermin lagi, tidak banyak yang berubah, tapi setidaknya lebih baik daripada sebelumnya.
Lipstik itu sudah kembali ke dalam tas. Langkah kecilnya mengantarnya memasuki restoran. Arkesh yang bergantian memilihkan restoran tempat mereka bertemu.
Restoran yang menyajikan masakan jepang itu tidak terlalu penuh pengunjung, sehingga tidak sulit bagi mata Kane menyapu setiap orangyang ada di sana untuk mencari sosok Arkesh. Tanpa perlu dua kali mengecek, dia yakin belum ada tanda kedatangan Arkesh. Sepertinya dia datang terlalu awal.
“Kane.”
Kane terjingkat. Sosok tegap dengan tinggi lebih sepuluh centi dari kepalanya, berada tepat di belakangnya. Penampilannya sama seperti dia. Khas orang setelah bekerja. Tidak rapi seperti saat berangkat.
Rambut yang acak-acakan. Wajah berminyak. Kerah baju bagian atas yang terbuka serta lengan kemeja yang tersingsing secara asal-asalan.
“Baru datang juga?”
Alih-alih menjawab, Kane hanya tersenyum.
“Maaf ya telat. Masuk yuk.”
Mereka memilih meja dekat dinding. Arkesh mengangkat tangan memanggil pramusaji restoran. Seorang pramusaji wanita memberi mereka dua menu. Mata Kane menelusuri setiap menu makanan dengan nama asing di otaknya.
Sesekali bola matanya melirik Arkesh yang serius memilih makanan. Perutnya terasa lapar, ditambah dengan menu restoran dengan dominan masakan Jepang. Dia hanya bisa pasrah.
Kane menutup menu makanan. “Kamu pilihkan aku apa saja.”
“Kamu tidak suka?”
“Aku tidak pernah tahu tentang masakan Jepang.” Kane melemparkan senyum, agar Arkesh tidak merasa bersalah.
Rupanya Kane salah. Arkesh sama sekali tidak terbebani, dengan bangga dia menawarkan pilihannya. “Baiklah akan aku pilihkan udon, salah satu favoritku. Rasanya enak, bumbunya juga pas.”
Kane mengangguk setuju. Walau dia tidak tahu apa itu udon, yang penting perutnya terisi. Arkesh memesankan dua udon pedas dan dua minuman.
"Hari ini pekerjaanku sangat melelahkan." Arkesh menyandarkan punggung pada sandaran kursi kayu. "Hampir semua tidak berjalan lancar."
"Bagaimana bisa?"