Hari minggu. Khusus hari ini-dan mungkin ada minggu-minggu lainnya-dia akan menyisihkan sebagian waktunya untuk berkencan. Kane sudah bersiap sedari pagi. Sesuai ciri khas Kane yang feminim, rok krem selutut dan blouse marun dengan tiga kancing besar di bagian depan. Old fashion. Kaca matanya pun membingkai wajahnya yang terlihat segar.
“Thank’s Mbak.” Kane puas melihat dirinya di cermin. Hasil make up kakaknya pas di wajahnya.
“Tapi yakin nggak mau ganti baju? Bisa pinjam punya aku,” Meri menawarkan.
Kane menggeleng. “Aku lebih nyaman begini.”
“Baiklah. Semoga sukses kencannya.”
Kane tersipu. “Cuma lihat marmut kok Mbak.”
“Loh, bukannya kamu ....”
“Everything will be okay.”
“Okay. Kasih tahu saja kalau kamu nggak nyaman. Nanti aku suruh Arkesh ajak kamu jalan-jalan. Biar kamu juga nggak boring ketemu marmut doang.” Mereka terkekeh bersama
Ketukan pintu rumah terdengar hingga kamar Kane. Dia bergegas mencangklong tas berwarna peach yang dia pinjam dari Meri dan membukakan Arkesh pintu.
Pria itu terlihat berbeda dengan gaya santainya. Ada yang berdesir dalam hati Kane. Dia mengakui jika Arkesh bisa membuat jantung perempuan berdetak tak karuan hanya dengan penampilannya saja.
“Sudah siap?”
Kane belum sadar dari bengongnya. Meri, yang ikut bahagia karena adiknya memiliki kekasih, terus-terusan menggoda hingga Kane menjadi salah tingkah.
“A-Aku pamit dulu.” Kane tergagap. Dia kembali ke dalam, tidak lama keluar menemui Arkesh. “Yuk berangkat. Aku pergi dulu, Mbak.”
“Oke. Pulangnya yang malam ya,” goda Meri.
Mobil Innova terparkir rapi di depan pagar rumah Kane. Arkesh dengan gaya gentle membukakan pintu mobil untuk gadisnya. Setelah Kane masuk, Arkes menutup pintu mobil dan memutar ke kursi kemudi. Mobil innova hitam melaju dengan konstan, menyusuri jalanan kota Surabaya yang padat.
Arkesh menyalakan radio. Lagu-lagu barat mengalun mengisi keheningan di antara mereka. Kane menatap lurus jalanan di depannya. Sesekali Arkesh meliriknya.
“Kamu dandan?”
“Hah? Oh, nggak. Cuma Mbak Meri ....”
Arkesh tersenyum. “Cocok kok.”
Kane merona. “Trims,” bisiknya, hampir tidak menggerakkan bibir. “Bagaimana pekerjaanmu?”
“Lumayan sih. Lumayan bikin pusing. Banyak deadline. Belum lagi atasan yang begini begitu ....”
Bla-bla-bla. Sepanjang perjalanan Arkesh mendominasi percakapan di antara mereka. Kane hanya diam mendengarkan, sesekali menanggapi atau tersenyum saat Arkesh melemparkan lelucon. Gadis itu merasa cukup terhibur dengan kehadiran Arkesh. Kane rasa sifat mereka yang kontras, mungkin bisa saling mengisi.