Buku bukan dunia Arkesh. Begitu Kane meminta ke toko buku, Arkesh tidak bisa berkomentar terlalu banyak. Kumpulan buku yang dipajang terlalu rapi menurutnya kelihatan membosankan. Apalagi semuanya berisi tulisan. Hanya sedikit minatnya terhadap buku. Komik, tapi itu dulu sebelum dunianya berubah.
Arkesh mampir di salah satu gerai minuman. Berjalan-jalan ditemani segelas minuman manis mungkin lebih baik dari pada jalan-jalan sendiri taanpa melakukan apapun.
“Thai tea satu, Mbak.” Arkesh merogoh dompetnya dan mencari uang lembaran berwarna biru.
“Arkesh?”
Laki-laki itu menoleh. Sedikit tersentak melihat wanita di depannya. Matanya melihat wanita itu dari atas ke bawah. Berbeda dari yang terakhir dia lihat, tapi bukan berarti dia tidak mengenali.
“Dinda? Ke sini sama siapa?”
“Sendiri. Kamu?”
“Sama teman.” Arkesh mengatakannya dengan santai. “Tapi dia masih ada perlu cari buku tadi.”
Dinda melayangkan pandangan ke deretan kursi-kursi di food court. “Mau ngobrol sebentar?”
“Boleh.”
Saat ini kursi di food court masih banyak yang kosong. Jam belum menunjukkan makan siang. Mereka mencari tempat duduk di posisi tengah.
Arkesh memandang berkeliling. Mencari sesuatu untuk memulai pembicaraan mereka. Aneh. Jantung berdetak kencang. Arkesh kira, detak itu sudah lama menghilang sejak Dinda menikah.
Ah, right. She is a married woman. Tapi kenapa dia jalan sendirian?
“Bagaimana kabarnya Din?” Percakapan yang normal. Menanyakan kabar untuk memulai percakapan berikutnya.