Sabtu pagi ibunya sudah mengomel. Masalahnya karena Kane belum melakukan persiapan apapun yang disuruh oleh ibunya. Kane beralasan dia dan Arkesh masih sibuk bekerja.
“Makanya, tinggalkan saja pekerjaanmu. Seperti ini kan menyita waktumu.”
“Ya sudah, minta antar Meri aja. Nanti semua barang yang kamu beli minta kuitansinya terus kasih ke Arkesh untuk mengganti uangnya,” lanjut Ibu.
“Nggak perlu, Bu. Kane ada uang kok buat belanja seperti itu.”
“Loh nggak boleh begitu. Kamu harus tegas. Kita juga keluar uang untuk mengadakan acara ini, jadi dia juga mau ikhlas membelikan barang-barang itu untuk kamu. Karena Arkesh wong lanang, kudu nduwe tanggung jawab.
Kepala Kane semakin pusing. Dia tidak bisa mengatakan alasan sebenarnya. Semua berjalan dengan tidak semestinya.
Meri melihat adiknya yang sudah terlihat kacau, langsung menarik tangan Kane keluar. “Bu, Meri sama Kane pergi dulu.”
“Iya hati-hati di jalan. Belinya sesuai daftar ya.”
Meri menutup pintu rumah tanpa sempat menjawab ibunya. Kane hanya diam. Kelopak matanya membendung air mata yang berusaha dia tahan.
“Ne, kamu kenapa?” Meri menatap simpati.
Kane memeluk kakaknya dan pecahlah tangisnya. "Arkesh selingkuh, Mbak." Sakit itu semakin nyata. Tubuhnya teeguncang hebat. Buliran air mata tidak bisa dia tahan. Bendungan perasaan yang teramat perih, jebol sudah.
Meri menepuk pelan punggung Kane. "Kamu yakin?"
"Sudah dua kali aku lihat dia jalan sama perempuan."
"Bukan saudaranya? Sudah tanya Arkesh?"
Kane menggeleng lemah. Diusapnya air mata. Kane menceritakan jika beberpa hari ini tidak bertemu atau menghubungi Arkesh, begitu juga sebaliknya. Baru kemarin Kane menghubunginya untuk bertemu. Namun, hingga malam Arkesh tidak muncul.