Tyas Rengganis, terlahir dari keluarga yang sederhana. Jauh dari kata glamour. Bapaknya hanya seorang petani yang terkadang ikut buruh harian lepas sebagai tenaga tukang pada pekerjaan borongan pembuatan bangunan-bangunan. Ikut dengan perusahaan kontraktor bangunan ternama di Jakarta. Konon menurut cerita Bapak, dia yang ikut membangun gedung DPR/MPR RI hingga semua lekuk dan seluk beluk gedung itu tahu. Ibunya? Ibunya hanya seorang Ibu Rumah Tangga biasa, tapi bukan ibu rumahan sepenuhnya juga. Ibu adalah perempuan yang cerdas, pekerja keras dan serba bisa. Dia senang bergaul dan berorganisasi meski hanya tingkat desa. Ibu aktif jadi anggota PKK dan mengikuti semua program-programnya. Dari kesenian, olahraga dan ilmu masak memasak khas ibu ibu PKK.
Ibu selalu jadi yang terdepan. Jadi penabuh Bonang di seni degung. Jadi pemain volly andalan yang selalu dipanggil pemain inti jika bertanding antar désa atau kecamatan. Dan dalam seni masak memasak, Ibu yang paling pandai menyerap setiap mendapat diklat tentang ilmu masak memasak. Ibu juga sangat aktif di majlis pengajian dan arisan. Meski begitu, ibu Tirah tak pernah sedikitpun melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Seperti kebanyak oerempuan di pedesaan lainnya, Ibu Tirah sangat telaten bertani. Kegiatannya setiap hari, ketika pagi menjelang, Ibu Tirah pergi ke sawah. Dan pulang selepas dhuhur.
Tyas Rengganis, anak sulung dari dua anak gadis yang di miliki Ibu Tirah dan Pak Nasir.
Sebagai anak sulung, masa kecilnya sudah dibebani tanggung-jawab dengan mengasuh adik dan mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci, memasak sudah biasa ia lakukan sejak usia SD kelas 3.
Pengalaman masa kecil yang penuh liku dan sudah mulai mengecap pahit getirnya hidup yang entahmenjadi pondasi karakter kuat Tyas terbentuk.
Tyas menjelma seorang gadis yang mandiri, penuh tanggung-jawab, berwatak dan berkemauan keras dan sangat tomboy. Sifatnya itu terbentuk karena ia selalu dituntut untuk bisa membela diri sendiri dan memayungi keluarganya.
Pernah suatu kali, ketika seperti biasa, setiap pulang sekolah adalah kewajibannya mengasuh adik kecilnya. Ibu dan Bapak pergi ke sawah. Bekal yang ditinggalkan hanya nasi di bawah tutup Periuk dengan garam dan ikan asin.
Adiknya, Tina, yang baru berusia tiga tahun dan manjanya minta ampun, merengek minta jajan. Tyas yang kebingungan merayu adiknya dengan menggendongnya mengajak jalan-jalan mengitari jalan kampung.
“Kak...Ina mau jajan!” Tina yang cadel merengek dalam gendongan.