MEMOAR SANG PENULIS

Ratna Ning
Chapter #3

Chapter #3. Gagal Menuju Suatu Fase

Menjadi gadis putih abu bagi Tyas bukan perkara mudah. Itu didapatnya dari hal simsalabim abracadabra. Sebelum dibagikan ijazah, Tyas sudah menyerah pada keadaan. Bapak yang sakit bertahun-tahun sejak ia kelas 1 SMP karena kecelakaan motor membuat Ibu harus berjibaku sendiri menafkahi dua anak dan biaya berobat suami. Hampir satu tahun di tahun kedua Tyas bersekolah di SMP, Ibu setiap hari menemani Bapak berobat. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lainnya. Dari pengobatan alternative satu ke pengobatan alternative lainnya. Jika sudah pergi berobat ke pengobatan alternatife, Ibu bisa pergi sampe berminggu-minggu karena memang tempatnya jauh di luar kota dan mengharuskan Bapak terapi rutin tiap hari hingga dianggap selesai dalam tahapan pengobatan itu.

Selama ditinggal pergi itulah Tyas merasakan betapa susahnya hidup. Sekolah harus tetap jalan. Sebagai anak tertua ia pun punya kawajiban menjaga adiknya, mengurus sekolah, mendandani dan mengasuhnya. Belum lagi masalah ongkos yang selalu kerepotan. Sungguh hari-hari di sepanjang dua tahun yang cukup melelahkan batin. Tapi Tyas tidak bisa mengungkapkan kesusahan hatinya itu pada siapapun termasuk teman-temannya.

Dari kecil ia cukup pandai berkamuflase. Segala kepedihan bisa ia singikirkan dan rona yang ditampilkan di depan siapapun selalu rona ceria dan ngocolnya yang keluar. Tahun kedua di masa SMP, Tyas menyimpan kepedihan mendalam karena merasakan kali pertama Ia mendapat sumbangan zakat fitrah dari sekolah. Rasanya aneh dan merasa menjadi fakir. Keluarganya memang tidak tergolong kaya, tapi juga bukan orang tak berkecukupan. Kakeknya memiliki perusahaan pertambangan pasir yang cukup besar di jaman itu dan mungkin hanya kakeklah satu-satunya yang menjadi juragan pasir di daerahnya. Usaha yang cukup besar hingga anak menantunya ikut turun membantu usaha ini, termasuk Bapak. Ibu seorang pedagang sayuran di pasar yang dari hasil dagangnya bisa membeli satu dua petak kebun. Ibu selain ulet juga seorang perempuan yang sangat ketat mengatur keuangan kalau tidak bisa dikatakan pelit. Tidak seperti Ibu atau perempuan kebanyakan yang royal membeli atau menyediakan barang atau makanan konsumtif. Ibu sangat irit dalam mengatur keuangan. Tyas bahkan nyaris tak pernah dikasih uang jajan. Bekal ke sekolah sangat minim hanya cukup untuk bayar angkot pulang pergi. Di sinilah kerumitan hidup yang akhirnya menimbulkan keputus-asaan Tyas.

“Tyas nggak akan melanjutkan sekolah Bu. Mau kerja saja. Kasihan sama Bapak, sama Ibu juga. Biaya masuk SMA lumayan besar. Bapak masih sakit juga. Daripada bikin repot Ibu, mendingan Tyas kerja aja!” putus Tyas.

Keputusan yang tak dibantah pula oleh ibunya. Mungkin pikiran Ibu juga begitu. Daripada sekolah dan harus mengeluarkan biaya lebih baik anaknya kerja. Kebetulan ada pabrik baru yang sudah di buka di Subang dan sedang mengadakan penerimaan karyawan. Tanpa menunggu kelulusan. Tyas sudah melamar kerja dengan perantara paman.

Dengan wajah baby face dan ukuran tubuh yang mungil, Tyas dengan penuh percaya diri memasuki dunia baru. Menjadi calon karyawan Pabrik.

“Agar bisa cepet diterima, harus ada uang pelicin ceu, buat masukin lamaran ke orang yang punya kuasa menerima karyawan!” kata Paman mengajukan syarat.

Dengan harapan di terima, Ibu memenuhi syarat itu. Menjual empat karung gabah untuk biaya uang pelicin.

Tyas makin merasa percaya diri dengan dorongan duit sogokan itu. Saat teman-temannya sibuk mengurus persyaratan untuk masuk SMA paforit, Tyas bersama tiga orang teman kampungnya sedang berjuang menjalani test lisan di salah satu pabrik benang yang baru di buka.

***

Lihat selengkapnya