Memoar Tanpa Kata
MEMOAR TANPA KATA
Langit senja itu begitu membisu, seolah tahu semua yang tersimpan di hati, tak perlu lagi untuk di ungkapkan. Di tengah ruangan yang kosong, tanpa ada suara, tak ada gerakan hanya keheningan yang pekat, seolah waktu pun lupa untuk berputar. Dinding – dinding putih memantulkan bayangannya, tetapi itu bukan bayangan seseorang, melainkan bayangan dari rasa hampa yang mengisi ruang lebih dari udara. Ia duduk di lantai, menatap kekosongan di hadapannya sendiri. Buksn ksrens is ingin tetapi itulah yang tersisa.
Di sudut kantor kantor, papan pengumuman memajang daftar nama – nama yang akan menjalani wawancara. Matanya berhenti pada nama yang berada di urutan yang ke 2 (dua) ada sesuatu yang bergetar di dadanya.
Wawancara, kesempatan baru gumamnya dalam hati
Harusnya ini kabar baik Tapi kenapa perasaan 10 tahun yang lalu kembali ,,?
Tanya nya dalam hati sekali lagi.
Jemarinya kini merabah daftar itu, lalu semuanya berubah, tak ada lagi papan pengumuman, tidak ada lagi kantor ini. Yang ada hanya suara – suara dari masa lalu yang tak pernah hilang. Ruangan itu lenyap, berganti dengan kenangan lama yang begitu menyeruak, saat ia duduk di ruangan yang sempit, hanya dengan sebuah meja dan lamunan panjang yang menggantung di udara.
Aria adalah pindahan dari sekolah lain di waktu SD, pertama masuk sekolah baru begitu canggung untuk memulai aktivitasnya sehari – hari apalagi sebagai seorang anak introvert tentu bergaul adalah hal yang sulit baginya.
Disuatu pagi, dia melihat anak perempuan yang merupakan murid di sekolah tersebut yang bernama Elin. Elin merupakan sosok yang terkenal di kala itu karena mempunyai paras yang rupawan dan jelita dan digandrungi oleh semua anak – anak dari kakak kelas di waktu itu.
Bel pun berbunyi pertanda dimulainya pelajaran ketika masuk ke dalam kelas, betapa terkejutnya Aria karena ternyata satu kelas bersama Elin dan duduk tepat di depan bangku tempat ia duduk. Namun tak berselang lama, Elin pindah ke sekolah lain karena ikut bersama dengan neneknya.
Setelah kepindahannya Aria terus bertanya – tanya tentang siapa sosok gadis kecil yang selalu membuatnya penasaran, rasa penasaran itu terus berlanjut sampai lulus SD dan kabar tentang Elin tak pernah terdengar lagi.
Masa Remaja
Memasuki sekolah baru di SMP tentu hal yang baru unutk anak kelas 7 itu adalah masa transmisi dari anak ke masa remaja, mulai dari perubahan secara fisik karakter dan perasaan semuanya berubah. Meski di sekolah mengenal banyak teman cewek yang baru namun bagi Aria sesosok gadis kecil disuatu pagi di SD adalah yang paling istimewa dan selalu berharap bahwa kelak rasa penasaran tersebut akan segera terjawab. Namun ali – ali mengahrapkan jawabannya akan tetapi sepertinya semesta tak berpihak padanya jawaban tak kunjung didapati dan kabar tentangnya tak ubahnya kabut ditingkahi sinar mentari pagi.
Seiring berjalannya waktu kini Aria kelas 9 dan akan mengikuti ujian nasional ketika itu dan kebetulan memilik seorang teman yang bernama Dandi, meski sama – sama kelas 9 namun memilihki kelas yang berbedah namun mereka berteman. Ujian nasional pun semakin dekat, dan akhirnya lulus
Setelah lulus mereka pun berpikiran untuk melanjutkan pendidikan di tempat lain yang kebetulan mereka menempuh pendidikan di kota yang sama walaupun di sekolah yang berbeda tentunya pertemuan tak terduga kembai terjadi seolah – olah takdir telah mempertemukan mereka dan tak ingin membuat mereka jauh
Mereka kian dekat meskipun jarang bertemu namun, mereka selalu meluangkan waktu untuk telponan hingga larut malam
Seiring dengan berjalannya waktu Aria merasa bahwa mereka semakin dekat dan mungkin tiba saatnya untuk menyatakan perasaan ke Elin gadis kecil yang sekarang sudah dewasa
Dengan perasaan yang agak ragu Aria memberanikan diri untuk menyampaikan rasa tersebut walau sedikit gugup
---
Klimaks: Pengakuan Aria
Aria menekan tombol panggil pada ponselnya dengan tangan gemetar. Napasnya tercekat saat mendengar suara Elin di seberang. Percakapan biasa menjadi senyap sejenak sebelum Aria mengumpulkan keberanian.
Aria: "Elin, ada yang ingin aku sampaikan sejak lama..."
Elin: (terdengar tersenyum) "Oh? Apa itu, Aria?"
Aria menarik napas dalam-dalam, suaranya sedikit bergetar.
Aria: "Aku suka kamu. Dari sejak kita kecil, dari saat pertama aku melihatmu di sekolah. Perasaan itu... nggak pernah hilang."
Keheningan menghantui di seberang telepon, seakan waktu berhenti sejenak. Elin tertawa kecil, tapi bukan tawa bahagia. Itu tawa yang sarat akan penyesalan.
Elin: "Aria... Kamu orang yang baik. Tapi aku... Aku nggak bisa membalas perasaan itu. Maafkan aku."
Aria: (terdiam) "Iya, aku mengerti."
Dia menutup telepon dengan perasaan hampa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Rasa sakit yang muncul bukan dari penolakan itu sendiri, tetapi dari harapan yang selama ini ia pegang erat. Malam itu, Aria hanya duduk sendirian, menatap langit yang gelap, seolah menanti jawaban yang tak pernah datang.
---
Pertemuan Kembali Setelah Dewasa
Ruangan wawancara itu terasa dingin. Aria melihat papan pengumuman yang menampilkan daftar nama, dan matanya berhenti pada satu nama yang tak asing: Elin. Perasaan yang sama seperti sepuluh tahun lalu kembali mengisi dadanya, tapi kali ini dengan campuran keraguan dan nostalgia. Dia menghela napas, mencoba menenangkan diri.