Pertemuan Kembali Setelah Dewasa
Ruangan wawancara itu terasa dingin. Aria melihat papan pengumuman yang menampilkan daftar nama, dan matanya berhenti pada satu nama yang tak asing: Elin. Perasaan yang sama seperti sepuluh tahun lalu kembali mengisi dadanya, tapi kali ini dengan campuran keraguan dan nostalgia. Dia menghela napas, mencoba menenangkan diri.
Saat giliran Elin keluar dari ruang wawancara, Aria menatapnya, berusaha mencari reaksi di wajahnya. Elin terkejut sesaat, tapi senyum kecil terukir di bibirnya.
Elin: "Aria? Lama tidak bertemu."
Aria hanya mengangguk, tersenyum samar. Mereka duduk di bangku panjang, tak jauh dari ruangan itu, dan suasana canggung menyelimuti mereka. Aria ingin berbicara, tapi kata-katanya terjebak di tenggorokan.
Elin: "Aku nggak nyangka kita bakal bertemu di sini."
Aria: (tersenyum pahit) "Iya, dunia ini sempit ya." Btw kamu kerja apa sekarang, dengar – dengar bidan ya hehe.. tanyanya dengan mimik serius.
Elin menundukkan kepalanya, memutar cincin di jarinya yang baru saja Aria sadari. Sebuah cincin pernikahan. Iya begitulah.
Aria: "Kamu... sudah menikah?"
Elin mengangguk perlahan.
Elin: "Iya, sudah tiga tahun ini. Dia orang yang baik, Aria."
Aria hanya mengangguk, berusaha menyembunyikan perasaan kecewa yang kembali muncul. Ada bagian dari dirinya yang selalu berharap akan kesempatan kedua, meski kecil.
Aria: "Aku senang mendengarnya. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik, Elin."
Elin: "Aria... Aku minta maaf kalau waktu itu aku melukaimu."
Aria menggeleng, tersenyum lembut.
Aria: "Tidak apa-apa. Aku sudah lama memaafkan. Mungkin ini adalah salah satu cerita yang memang harus berakhir tanpa kata."
Elin menatap Aria dengan tatapan penuh arti, dan mereka berdua hanya duduk diam, menikmati momen hening itu. Mereka tahu, perasaan yang ada tak perlu lagi diucapkan. Mereka berpisah dengan senyuman, tapi tanpa kata-kata perpisahan.
Move On dan Refleksi Aria
Beberapa bulan berlalu, Aria duduk sendirian di kafe yang biasa ia kunjungi. Ia menatap keluar jendela, melihat hujan yang turun perlahan. Ada perasaan damai di dadanya, bukan lagi hampa seperti dulu.
Aria menulis di buku catatannya:
"Kadang, ada cerita yang tidak perlu diakhiri dengan kata-kata. Ada rasa yang tidak perlu diungkapkan. Bukan karena kita tidak berani, tapi karena kita tahu, cerita itu sudah selesai pada waktunya."
Aria tersenyum, menutup bukunya, lalu melangkah keluar dari kafe dengan perasaan yang lebih ringan. Ia tahu, akhirnya ia telah move on. Bukan karena ia melupakan Elin, tetapi karena ia menerima bahwa tidak semua cerita cinta berakhir seperti yang diharapkan. Dan itu tidak apa-apa.
Pengakuan Kedua dan Penolakan yang Lebih Rumit setelah 10 tahun berlalu...
Setelah obrolan ringan di bangku panjang itu, ada keheningan yang menggantung di udara. Aria tidak tahan lagi dengan perasaan yang terpendam selama 10 tahun. Ia memutuskan untuk mengambil risiko, meskipun tahu bahwa Elin sudah menikah.
Aria: (menarik napas dalam-dalam) "Elin, aku tahu ini mungkin terdengar konyol, tapi... perasaan itu belum berubah. Aku masih menyimpan rasa yang sama seperti dulu."