Memoar

Kurarin Arin
Chapter #1

1. Pemakaman

Pada suatu titik, aku berharap lenyap dari dunia ini

Seluruh dunia tampak begitu gelap dan aku menangis setiap malam

Apakah aku akan merasa lebih baik jika aku menghilang saja?

Aku begitu takut pada semua orang yang menatapku

Selama hari-hari indah itu, aku merasa kesakitan

Aku membenci diriku sendiri karena tak bisa menerima cinta

Ibuku dan ayahku, mereka hanya menatapku

Apa yang mereka katakan sebenarnya bukanlah yang kuinginkan, tapi aku terus melangkah lebih jauh

Apa yang harus ku lakukan?

Waktu akan menjadi obat untukku

Seiring berjalannya waktu, aku benar-benar menjadi lebih baik

Tapi terkadang, saat aku terlalu bahagia, aku khawatir aku akan kesakitan lagi

Aku takut seseorang akan menghilangkan kebahagiaan ini

~ To my youth - Bbolg4

***

Lagu itu, suara itu masih terngiang di kepalaku. Suara Ayah yang dulu memasangkan earphone di telingaku untuk mengobati pedih dalam hatiku. Sebuah lagu yang tak sengaja Ayah temukan sewaktu perjalanan pulang dinas tiga bulan di luar pulau. 

Aku menertawakannya karena seleranya yang tak kuduga. Masa iya, seorang Ayah, seorang cowok, suka hal berbau Korea?

"Dengarkan saja dulu, lihat artinya, jangan memandang sebelah mata sebelum kamu mengenalnya lebih dalam. Kamu pasti suka lagu seperti ini." Satu-satunya kalimat yang terakhir kali kudengar dari lisan Ayah.

Kedua mataku masih menyisakan sembab. Aku terpekur jongkok di samping makam dengan nisan yang tak kukenal. Pelik ini takkan terlihat oleh orang-orang pentakziah yang berlalu melewatiku.

Hujan menyelimuti duka yang menyeruak dalam hati. Aku mencoba berdiri, jauh dimana ayah disemayamkan. Tanah ini adalah tanah makam pahlawan. Dan aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan.

Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada kehilangan seseorang yang berharga tanpa ada yang menduganya dan itu terjadi tiba-tiba.

Seandainya aku bisa menarik kembali waktu, aku ingin mengutarakan semua rasa terima kasihku selama ini. Namun, terlanjur. Aku telah kehilangan mereka. Tanpa ada satupun pesan yang bisa kusampaikan. Tanpa aku bisa memberikan balas budi untuk mereka.

Semira, Fathina, dan Syuja masih berdiri menatap kuburan Ayah dari jauh. Kini, hanya tersisa ketiga adikku sebagai keluarga. Entah mengapa, aku tidak bisa menghubungi kerabat-kerabatku. Apakah mereka marah karena selama ini ayah melanggar adat masyarakat Padang? Namun, ini sungguh menyakitkan.

Aku terisak. Mataku tidak bisa berbohong dengan perasaan. Aku berusaha tegar sebab aku kakak tertua, tetapi aku tidak benar-benar bisa bertahan. Meskipun, selama ini aku terbiasa berbohong dengan diri sendiri. Hanya saja kali ini, aku benar-benar kehilangan kendali.

Kuusap mataku dengan lengan. Kutarik napas dalam-dalam. Kukuatkan keyakinan dalam hatiku, "Ayo, berhenti menangis, jangan buat mereka bertiga lebih bersedih!"

Lihat selengkapnya