Semalam, Semira mengusulkan untuk menjual sebagian pakaian yang tidak pernah dipakai di lemari. Ya, tidak heran karena kami berempat bukan tipe orang yang suka dengan pakaian mewah. Namun, Ayah dan Ibu selalu ingin kami tampil sempurna. Termasuk adik laki-lakiku satu-satunya, Syuuja. Dan sore ini, kami akan mulai melapak di pasar barang-barang bekas. Tempatnya di belakang gedung swalayan tengah kota. Bersebelahan dengan pasar tradisional satu-satunya di kota ini. Hanya dibatasi jalan kecil yang banyak dilalui becak dan bajai.
Aku pulang dari sekolah, secarik kertas membuatku tidak bertenaga. Bukan menghadiri kelas, tetapi untuk menghadap administrasi. Aku berpikir, tidak mungkin melanjutkan sekolah di SMA-ku yang sekarang. Terkadang, aku sebenarnya sangat hancur dalam hatiku. Mencoba menata kepingan-kepingan tersisa, mencoba untuk selalu tersenyum, mencoba untuk tetap kuat menghadapi dunia. Dan berita kematian Ayah membuatku semakin mengerti, getir ini takkan berakhir.
Kertas yang sekarang kupandang adalah sebuah jawaban atas alasan aku harus pindah. Sekolah elit yang Ayah pilihkan untukku adalah sekolah yang menyiapkan anak-anak didiknya khusus melanjutkan ke universitas jurusan kesehatan. Ayah sungguh ingin aku menjadi tenaga kesehatan, dokter atau farmasi maksudnya. Kedua pilihan itulah yang Ayah harapkan padaku. Dan aku pun juga pernah bermimpi akan hal itu. Sungguh aku ingin menjadi seorang dokter jiwa. Walau di keluargaku pasti akan lebih memilih aku di kedokteran umum kemudian menjadi seorang dokter spesialis seperti Ibu.
Aku duduk di muka kursi taman yang sunyi, terletak di ujung taman tertutupi banyak tanaman merambat dan pepohonan besar. Orang jarang berlalu lalang karena wilayah ini adalah bagian belakang taman. Saat malam, tempat ini lebih banyak dijumpai kawula-kawula muda yang dimabuk asmara. Aku tidak ingin menceritakannya. Sejak pengalaman pahitku di masa kecil, aku sungguh mual mendengarnya.
Aku menatap lamat-lamat kertas yang ada di tanganku. Uang SPP sudah terlunasi karena aku menerima beasiswa prestasi, yang berarti aku mendapat gratis uang SPP enam bulan. Selebihnya, uang praktek, uang ujian, dan uang-uang yang nominalnya banyak digit itu akan selalu menghantui pikiran, membuatku tidak tahan hingga tanpa sadar meremasnya. Lusuh kertas itu, lamat menjadi layaknya bola kecil yang tak karuan bentuknya.
Kubuang sembarang ke tempat sampah yang ada di trotoar dekat kursi. Sesungguhnya ada satu alasan lain mengapa aku berencana pindah sekolah. Tak lebih sebab sekolahku yang sekarang hanya peduli pada uang. Mereka yang paling kaya, maka ia yang paling berkuasa. Seakan ukuran pendidikan begitu mudahnya dikendalikan oleh kertas-kertas itu yang dinilai berharga. Nilai-nilai merah di rapor juga dengan mudah diganti dengan uang yang nominalnya banyak digit itu. Demi apa? Karena sekolahku adalah salah satu sekolah yang banyak dilirik universitas. Jalur rapot yang awal kali menjadi jalur masuk kuliah menjadi peluang rebutan. Hal itu karena banyak alumni sekolahku lolos diterima di beberapa universitas ternama di Indonesia. Dan fakta itu ramai menjadi rumor di telinga masyarakat. Benar adanya, rumor adalah sebuah fakta yang disembunyikan.
***
Kutatap dinding tinggi bangunan swalayan yang cukup melegenda di kota. Di bagian belakang gedung itu, orang-orang kecil berusaha menyambung hidup dengan menggelar dagangan, khususnya barang-barang bekas. Meskipun lebih sedikit pelanggan di waktu pandemik seperti ini, setidaknya di hari ini kami seperti dihujani keberuntungan. Baju-baju bermerek yang selama ini hanya menjadi pajangan di lemari, menarik banyak mata untuk melihatnya. Efeknya, lapak kami laku keras di akhir pekan seperti ini.
Dan di pelik pandemi ini, swalayan sedikit lengang sebab protokol kesehatan gencar disosialisasikan. Aku kehilangan banyak tenaga sebab napasku tersengal-sengal dibatasi masker yang kupakai seharian.
Kututup mataku sejenak dan menarik napas perlahan. Kubuka kembali mataku. Dalam gelap sejenak tadi, aku ingat perkataan Ayahku. Sebuah kalimat yang aku tahu ia mengutipnya dari lirik lagu. Ketika aku menangis karena teman-teman di kelas saat SMP merundungku, Ayah berkata, “The world in your eyes forever is lie.” Maka, bohongilah dunia seperti dia telah berbohong padamu.
Aku terdiam mendengarkan Ayah bercerita panjang setelahnya. Isakku berhenti dan sekujur tubuhku tersihir karena kepiawaiannya bercerita. Bagaimana ia menyaksikan lebih banyak hal menyakitkan daripada yang kualami. Pekerjaannya sebagai ksatria negara di masa-masa perang berkecamuk di beberapa tempat. Ia sesungguhnya takut menghadapinya. Kematian menjadi saudara erat. Ia juga telah banyak menyaksikan rekan-rekan angkatannya gugur satu per satu. Meskipun perang tidak lagi berkecamuk saat ini, gambaran akan hal itu masih jelas terulang dalam ingatanku.
Dan sebagai seorang tentara, hal yang utama harus dihadapi adalah menghadapi ketakutan mereka. Keras akan dunia sehingga dunia menjadi lembut padamu. Meskipun ketakutan, Ayah akan menutupi ketakutannya. Bersikap tetap kuat untuk menguatkan dirinya dan semua rekan seperjuangannya.
Aku sudah memutuskan, sejak itu, aku akan bersikap tegar. Kuat dengan penganiayaan, melawan jika perlu, bijaksana dengan cobaan, baik dengan diri sendiri dan orang yang menguatkanmu.
Dari ujung jalan ke arah keluar pasar, kutangkap bayang seseorang yang tidak biasa. Pakaian formal yang biasa digunakan Ayah untuk suatu acara. Namun, aku tahu orang itu bukan Ayah. Dia mengenakan pakaian yang rapi. Di depanku, ia berhenti. Tatapannya sendu. Ia membuka bibirnya, “Marshita Ayudia? Kamu mengingat saya”
Aku mengangguk, “Paman Sandi, bukan?”