Paman Sandi mengantar kami kembali ke rumah. Rumah megah yang sekarang terasa sangat besar dan memang diperuntukkan untuk orang berada. Namun, sekarang rasanya tidak ada lagi yang pantas disebut megah. Dari mataku, rumah itu bukan lagi rumah indah. Untuk kami berempat, aku tahu rumah ini terlalu besar untuk kami tinggali sendiri. Aku berpikir lebih baik menjualnya. Uang simpananku juga akan terkuras hanya untuk biaya listrik dan lain-lain. Hanya aku tidak bisa memutuskannya begitu saja.
Aku menarik napasku dalam-dalam. Tarikan napasku bersuara karena sedikit sisa ingus dalam hidungku. Aku memandang surat yang kugenggam erat-erat. Kubuka segelnya. Isinya sebuah kertas buku kuno. Sesuai dengan selera ibu yang sangat gemar koleksi buku-buku tua. Entah, bagaimana ia bisa mendapatkan buku semacam itu.
Aku sudah bisa menebak isi surat yang hendak akan disampaikan Ibu. Pesan yang ada pastilah sebuah permintaan maaf. Aku terdiam sejenak ketika membaca bait tulisan yang mewakilkan aku sebagai pemimpin adik-adikku. Di usiaku yang akan genap 17 tahun, aku tidak tahu apakah aku benar-benar bisa mengemban amanah itu. Apakah yang harus kulakukan dan kepada siapakah nanti aku bercerita jika ada masalah? Itulah kegundahan yang menggerogoti pikiranku disamping kesedihan yang mendalam.
Mobil berhenti di depan rumah mewah yang kini sepi tidak ada siapapun di dalamnya, kecuali bibi. Supir kami juga telah mengundurkan diri sebelum kabar kematian Ayah. Paman Sandi tidak bisa menyertai kami lama. Ia ada urusan penting yang hendak akan diultimatumkan di pasukan angkatan bersenjata.
Pintu terbuka. bibi menyambut kami dengan muka muram durja. Terpancar dari matanya, alasan lain juga kesedihan yang merundung dirinya. Sama seperti kami, kematian Ayah menjadi alasan dukanya. Keadaan rumah kami sekarang begitu sepi.
Fathina dan Syuuja beranjak tidur ke kamar sementara aku dan Semira duduk di sofa ruang tengah. Saling diam tanpa berbicara. Tidak ada yang membuka percakapan. Pikiranku merenungkan sesuatu yang entah kemana arah dan tujuannya. Aku sendiri tidak tahu apa yang kupikirkan. Yang tersisa dalam diriku hanya kekosongan dan kegelisahan. Bibi pamit sore tadi. Aku telah memutuskan kontrak bibi sebagai pegawai di rumah ini. Kupikir, itulah yang terbaik untuk kulakukan demi kehidupan di masa kemudian.
“Kakak akan jual rumah ini?” celetuk Semira memecah keheningan. Kupandang Semira. Dari tatapan matanya aku tahu, ia menyimpan keraguan. Aku terdiam sejenak, lalu mendongak.
Semira melanjutkan, “Aku tahu, rumah ini saksi perjuangan Ayah dan Ibu, dari nol,”
Pandanganku mengedar di sekeliling rumah berakhir memandang Semira yang menyunggingkan senyum sayu.
“Keputusan final dan paling rasional adalah menjualnya, Kak. Aku setuju saja karena Syuuja dan Fathina butuh biaya untuk sekolah.”
Kukira memang pemikiran yang sejak awal merundung logikaku wajar. Bukan berarti aku tidak menghargai perjuangan Ayah dan Ibu karena menjual rumah. Aku juga tidak perlu khawatir untuk biaya pendaftaran SMA Semira. Pendidikan sekolah menengah Semira sudah tercukupi seutuhnya sebab sebelumnya Ayah menyimpan asuransi pendidikannya.
Lain halnya Syuuja dan Fathina. Itu pun hanya mencakup pendidikan wajib 12 tahun. Selebihnya, Ayah berniat membiayai sendiri. Artinya, kuliah kami murni biaya mandiri. Terkadang aku berpikir, mungkin lebih baik aku tidak kuliah saja tetapi, itu masalah nanti.
“Kamu tahu bagaimana pengurusan penjualan tanah yang sekiranya menguntungkan?”
Semira menggeleng. Aku menghela napas. Takutku hanyalah jika kami rugi dengan penjualan yang kami lakukan. Aku juga tidak pengalaman sama sekali menjual rumah atau tanah. Harga pasarnya aku juga tidak terlalu paham. Paman Sandi juga tidak akan bisa membantu. Kudengar ia harus bertugas di luar Jawa tiga bulan
“Jual mobil dulu saja Kakak! Untuk rumah, mungkin dikontrakkan saja, bagaimana?”
Aku mendongak menatap Adikku yang juga menatapku. Aku beranjak dan mengambil ponsel di kamar. Kenapa aku tidak terpikirkan sejak awal. Banyak cara yang bisa digunakan di era digital. Ini masa bukan lagi zaman prasejarah.
“Kita ubah saja rumah ini jadi tempat kost, bagaimana? Ruang tidak terpakai di rumah ini banyak, bukan?”