Memorabilia

Bentang Pustaka
Chapter #2

Satu

Minggu kedua Agustus

Jingga mengenakan dress putih, scarf ringan warna peach, dan jaket jeans favoritnya. Rambut ikal sebahunya bergoyang-goyang seperti diberi dua buah pegas.

Pagi itu, angin bertiup pelan, seolah mengikuti gerakan Jingga yang melambat saat menyeberang dari kedai kopi yang terletak di seberang kantornya, Blue Romance. Matahari bersinar, memancarkan warna jingga yang menyilaukan, tetapi tidak terlalu terik. Sungguh sesuatu yang tidak biasa pada pukul sepuluh pagi. Cahaya yang menyenangkan di mata dan menimpa rambut Jingga yang jadi terlihat lebih berkilau. Mataharinya “jinak”—istilah yang selalu ia gunakan untuk jenis sinar matahari seperti ini.

Jenis matahari seperti ini mengingatkannya pada adegan film drama Jepang. Adegan ketika sepasang laki-laki dan perempuan bersetelan kantor, mendekap tas kantor masing-masing, berjalan di atas jembatan dan berbicara tentang masa lalu yang indah. Jenis matahari yang kilaunya memantul-mantul di sungai di bawah jembatan tersebut.

Membayangkan adegan itu, walau tidak ada laki-laki tampan di sampingnya, sudah cukup membuat Jingga bahagia. Seperti prinsipnya, kebahagiaan selalu datang dari hal-hal kecil. Berjalan kaki—sesingkat apa pun rutenya, adalah salah satunya.

Jingga menunduk dan melihat tali sepatu kets kebanggaannya terlepas. Dia mengikatnya di depan kantornya. Jingga selalu suka mengenakan dress dan sepatu kets. Walau sering dibilang tidak nyambung oleh teman-temannya di kampus, dia tetap mengenakannya, bahkan sampai saat dia lulus dari universitas bersama Karsha dan Januar—dua temannya sejak semester empat, yang bersama dirinya membangun kantor Memorabilia.

Memorabilia adalah majalah digital yang dibuka pada website khusus—webzine atau website magazine, istilahnya. Memorabilia berisikan foto barang yang hendak dijual, serangkaian cerita tentang kenangan, dan kriteria orang yang bisa membeli memorabilia-memorabilia peninggalan dari kenangan tersebut. Majalah ini merangkum barang-barang bersejarah dalam memori banyak orang. Kebanyakan adalah memori yang pahit, yang ingin dilupakan. Dalam satu bulan, mereka menerbitkan dua volume webzine.

Memorabilia berdiri karena pertanyaan: “Hati ini sudah ringkih. Buat apa menambah beban dengan mengingat hal yang lalu?”

Jingga mempercepat langkahnya menuju sebuah pintu kaca yang cukup besar dengan stiker dengan font tulisan kuno. Stiker itu bertuliskan “MEMORABILIA, Medium untuk Lupa sejak Juni 2012, www.memorabiliajakarta.com”. Jingga membuka pintu kaca itu dan menaiki tangga menuju Lantai 2, yang juga dibatasi dengan pintu kaca yang hampir mirip dengan pintu di lantai bawah.

Sebuah ruang tunggu yang tidak terlalu besar menyambut di Lantai 2. Dinding kayu besar memisahkan ruang tunggu dengan kantor Memorabilia. Jingga membuka pintu yang menjadi satu dengan dinding tersebut. Tidak ada orang. Sepertinya, semua sudah berkumpul di ruang rapat Lantai 3.

Pagi ini memang ada rapat untuk membicarakan acara gathering bulanan. Gathering sebulan sekali ini diadakan untuk mempresentasikan semua barang yang dimuat dalam dua volume webzine pada bulan itu. Di acara gathering ini, semua anggota tim Memorabilia mendapat tugas: moderator gathering, bagian konsumsi, hingga membuat presentasi. Sore nanti ada gathering untuk Agustus.

“Kesiangan lagi lo?”

Suara Januar dari belakang membuat Jingga terkejut. Ia pikir tidak ada orang di kantor karena semua sudah berkumpul di ruang meeting. Rupanya masih ada Januar.

Januar Adikara. Sama seperti Jingga, rambutnya ikal. Hanya saja, ia memangkasnya dengan rapi, sedemikian rupa sehingga mau tidak mau Jingga mengakui bahwa potongan rambut Januar-lah yang membuat wajahnya terlihat menarik. Ia senang sekali mengenakan jaket atau baju luar berlengan panjang, seolah ia selalu kedinginan. Padahal, kaus-kaus yang dipakainya bergambar band-band keren. Seharusnya, melihat Januar adalah pemandangan yang membosankan. Ia selalu mengenakan kacamata dengan bingkai hitam yang sama, jam tangan, serta sneakers yang sama. Tas punggung atau tas postman yang itu-itu saja.

Celakanya, dengan semua hal yang serbasama itu, Januar tidak pernah membosankan di mata Jingga.

“Lo juga kesiangan, kali,” balas Jingga, tidak terima selalu dibilang “kesiangan lagi”.

“Gara-gara temen lo nih, dandan lama banget. Entah apa yang dipakai …,” keluh Januar sambil mengambil notes dan pulpen dari tas punggungnya, lalu berjalan menuju ruang meeting di Lantai 3.

“Maaf, dehhh!” seru Karsha yang muncul di balik punggung Januar. Ia segera menaruh tasnya di balik kubikel dan bergegas menuju Lantai 3 juga.

Karsha Danumaya. Sepupu Januar. Rambutnya panjang dan tebal. Karsha tidak secantik teman-teman kampus mereka sebelumnya yang mengikuti kontes wajah cantik di majalah. Tapi, Karsha pintar menonjolkan bagian mana dari wajah dan tubuhnya yang dapat terlihat cantik. Ia tahu betisnya sangat bagus. Karena itu, ia sering sekali mengenakan sepatu hak tinggi. Ia tahu bulu matanya lentik. Karena itu, ia tidak pernah keluar rumah tanpa mengenakan maskara. Ia tidak akan keluar dari kamarnya jika riasan matanya belum sempurna. Ini yang membuatnya sering kesiangan dan dimarahi Januar yang sangat benci terlambat.

“Jingga, hayuk!” seru Karsha yang rupanya sudah ada di balik pintu. Walau berpenampilan cantik, Karsha punya suara yang besar dan terkadang menggelegar. Sedikit bertolak belakang dengan riasan makeup-nya yang membuatnya tampak ayu.

Seluruh tim Memorabilia memenuhi ruang rapat di Lantai 3 tersebut. Ruang rapat tersebut terdiri atas sebuah meja besar, beberapa kursi, serta proyektor untuk mempertunjukkan slide presentasi. Bagian belakang ruang rapat tersebut terdiri atas beberapa memorabilia yang belum berhasil dijual: kursi goyang, sebuah gitar, hingga beberapa barang berukuran kecil yang berderet di meja panjang—stoples penuh origami, duplikat lukisan terkenal, dan lainnya.

Tim Memorabilia terdiri atas Karsha, Januar, Aldo—asisten editor, Dion—asisten bagian desain, Febri—staf IT, Tia—staf administrasi, beserta Widya—staf bagian promosi dan iklan. Semua sudah berkumpul dan mengobrol ringan. Jingga mengambil kursi paling ujung agar lebih mudah berbicara kepada seluruh tim Memorabilia.

“Sori, temen-temen, tadi gue ke seberang, mastiin konsumsi. Thank you semua udah pada datang pagi. Sore nanti kita akan melakukan gathering untuk bulan Agustus ini …,” ujar Jingga langsung membuka rapat.

Akan tetapi, bukan tim Memorabilia namanya jika tidak rusuh. Aldo tampak sedang asyik duduk di kursi goyang sambil bermain sebuah game online dari ponsel miliknya bersama Tia yang berdiri di sampingnya. Dion dan Febri sedang asyik memutar kunci pada gitar di ruang tersebut, sementara Widya sedang asyik menelepon pacarnya.

“Woi, gue tahu gue telat, tapi letih nih, guys. Masa gue harus nyanyi lagu ‘Pelanduk dan Kelinci’ biar kalian ngumpul kayak anak TK?!” seru Jingga sambil memejamkan matanya.

Semua staf Memorabilia tahu: jika Jingga sudah marah sambil memejamkan matanya, berarti nyonya Memorabilia sudah bersabda. Semua harus patuh, dan langsung meletakkan ponsel, gitar, dan barang lainnya.

“Bagus. Nah. Di gathering nanti, seperti biasa, semua memorabilia bulan ini akan dipresentasikan. Gue bacakan pembagian tugasnya, ya, sekalian memastikan semuanya. Oke, moderator hari ini adalah Widya.”

Semua anggota tim Memorabilia bersorak. Kebagian menjadi moderator dalam acara bulanan selalu mendebarkan. Tidak peduli apa pun jabatannya, setiap orang harus melakukan interaksi dua arah dengan para tamu yang datang. Dia yang kebagian menjadi moderator selalu senang sekaligus takut pada saat yang sama. Terkadang si empunya barang juga datang ke gathering. Jika si empunya barang ingin ikut menjelaskan, mereka yang kebagian menjadi moderator harus benar-benar saksama saat menyebutkan detail mengenai memorabilia tersebut.

“Ingat ya, Widya. Lo harus selesaikan dulu penjelasan tentang detail semua memorabilianya, baru sesi pembelian dibuka. Jangan satu memorabilia, terus sesi pembelian, terus lanjut memorabilia berikutnya. Bakalan sampai besok subuh baru selesai. Oke?” ujar Jingga sambil menunjukkan slide berisi foto-foto dan sedikit keterangan tentang memorabilia bulan ini. “Oh iya, jika ada pembeli yang berminat, jangan lupa minta dia menjelaskan pendapatnya mengapa ia mau membeli barang tersebut ....”

“Siap!” seru Widya sambil mencatat dalam cue card yang sudah ia persiapkan untuk acara ini.

“Nah, display barang-barang di gathering hari ini, Dion yang urus, ya. Udah tahu kan, ya, barang-barangnya ada di sebelah sana. Nanti jam empat udah bisa diturunin ke ruang tunggu …,” kata Jingga sambil menunjuk sebuah meja dekat pintu. Di sana terdapat tumpukan kardus berisi barang-barang.

“Lalu, barang yang tidak terjual hari ini, yang handle Febri, ya? Tolong nanti di-follow up daftar barang yang tidak terjual ke gue. Seperti biasa, gue bikinin artikel singkat tentang barang-barang ini untuk volume berikutnya, supaya orang-orang bisa beli di sini langsung ....”

Febri mengacungkan jempolnya, memberi kepastian. Barang-barang yang tidak terjual selalu dimuat di volume berikutnya, untuk mengundang para pembaca yang ingin memilikinya agar membeli langsung di kantor Memorabilia.

“Ingat ya, Teman-teman, kita nggak mau semua memorabilia ini sekadar terjual. Memorabilia-memorabilia ini mencari orang yang tepat. Orang yang tepat pastinya mau membeli dan menghargai cerita di balik barang-barang ini. Barang-barang ini punya cerita yang bisa diberikan bagi si pembeli. Namun, bagi si empunya barang, cerita di balik benda tersebut untuk dilupakan. Jadi, untuk moderator khususnya, penting banget kalau nanti banyak yang mau barang yang sama, coba dilihat mana yang paling cocok .… Kalau masih sulit, nanti bakalan kita bantu juga,” Jingga menjelaskan dengan lugas sambil tersenyum. Jemarinya menekan clicker, memperlihatkan foto-foto dokumentasi beberapa acara kumpul-kumpul yang sudah mereka lakukan selama ini, juga foto beberapa orang yang menunjukkan memorabilia yang berhasil mereka beli.

Apa itu memorabilia?

Singkatnya, memorabilia adalah setiap barang yang punya kenangan khusus untuk setiap orang. Barang-barang ini, dulunya, mungkin sering memberikan kenangan yang baik.

Akan tetapi, hidup berubah. Orang-orang ikut berubah. Beberapa barang yang awalnya selalu memberikan memori-memori yang indah, malah membuat hati sakit. Membuat hati terjebak pada masa lalu.

Akan tetapi, jika barang ini memang punya kenangan indah, tentu kita tidak akan membakarnya, bukan? Atau, menjualnya ke tukang loak keliling rumah. Kita tahu nilai barang tersebut. Sepahit apa pun kenangan yang menyertai di belakangnya, kenangan manis yang pernah dibuat barang tersebut menjadi nilai tersendiri.

Hal yang bisa dilakukan sebagai pilihan lain adalah memberikan kesempatan kedua bagi barang tersebut untuk menjadi memorabilia. Menjadi barang yang bisa membawa pesan dari pemilik pertama kepada pemilik selanjutnya.

Pesan seperti apa?

Macam-macam. Sebuah barang menjadi memorabilia karena kisah yang menyertainya, bukan karena mahal atau murahnya.

Misalnya, seorang perempuan muda dengan sepasang antingnya—salah seorang klien awal Memorabilia. Sepasang anting ini sering dipakai olehnya saat ia masih menjadi gadis muda yang tidak percaya kepada dirinya sendiri. Ia merasa anting itu dapat membawakannya perasaan tenang. Namun, ia berubah. Ia menyadari bahwa bukan sepasang anting yang membawakan dirinya kepercayaan diri. Kepercayaan diri datang dari hati dan diri sendiri. Datang dari keinginan untuk mengubah diri, bukan hanya melalui penampilan luar, melainkan melalui kepribadian.

Maka, ia menjadikan sepasang anting itu sebagai memorabilia. Ia begitu menyayangi anting itu karena anting itu banyak memberinya kenangan baik, bagaimanapun caranya. Namun, anting tersebut adalah bagian dari fase hidupnya yang telah berlalu, yang akan ia tinggalkan. Ia menjual sepasang anting tersebut di Memorabilia. Sepasang anting itu, beserta kisah si gadis itu, akan diberikan kepada pemilik selanjutnya.

Dengan menjualnya, kenangan baik dari anting tersebut akan terus hidup di tangan pemilik selanjutnya, dan kenangan buruk bagi si gadis tersebut akan memudar.

Pemilik selanjutnya bisa memakai anting itu, atau menyimpannya sebagai “pengingat” atau “pembelajaran” bahwa kepercayaan diri bukan datang dari sepasang anting atau aksesori cantik, melainkan dari diri sendiri.

Anting itu menjadi pembawa kisah. Menjadi barang yang mampu mengubah rasa kegelisahan pemilik sebelumnya, menjadi rasa senang bagi pemilik selanjutnya, atau sebagai “pengingat”. Itulah mengapa barang-barang ini disebut memorabilia. Juga, untuk itulah Memorabilia hadir.

Gathering ini adalah cara untuk mencari dan mengumpulkan para pemilik selanjutnya dari setiap memorabilia yang akan menikmati nilai dari barang selanjutnya. Mungkin mendapatkan sedikit pembelajaran dalam hidup melalui barang-barang ini.

Lihat selengkapnya