Memorabilia

Bentang Pustaka
Chapter #3

Dua

Dalam pikiran Jingga yang sungguh kalut, ia teringat suatu hari lain: hari yang juga penting bagi Memorabilia. Hari itu adalah dua minggu lalu pada minggu ketiga Juli. Saat itu, mereka sedang melakukan rapat sebelum pergi ke talkshow mengenai bisnis mereka di kampus yang terdahulu. “Kita udah setahun lebih ya, kayak gini?” tanya Jingga. Senyumnya mengembang, setelah ia membuka sebuah map bening yang ada di hadapannya. Ia menunjukkan kepada Januar dan Karsha lembar-lembar flyer dari kertas berkualitas buruk dengan warna biru, kuning, dan pink.

“Astaga, flyer murahan itu!” Karsha langsung tergelak. Januar terbahak sembari memajukan tubuh, seolah ingin mengambil dan merobeknya dari tangan Jingga.

“Jangan! Ini harus kita tunjukin nanti di seminar. Kita dulu tempel semua ini di kampus. Kita harus ingetin mereka, pada akhirnya flyer ini yang bikin kita jadi kayak gini.” Jingga tergelak sambil kembali menyimpannya dalam map bening.

Berbekal flyer murahan berwarna biru, kuning, dan pink dengan tulisan yang Jingga desain seadanya, mereka menyebarkan kabar tentang Memorabilia kepada mahasiswa-mahasiswa di kampus mereka. Mereka menempelkannya di setiap papan pengumuman dan mading di seluruh kampus. Setiap hari, bagian dari corporate communication kampus pasti akan selalu mencabut flyer tersebut, tetapi Jingga dan teman-temannya tidak menyerah.

Flyer-flyer itu sederhana. Hanya berisikan tulisan:

“PUNYA BARANG PENUH KENANGAN YANG INGIN DILUPAKAN, TAPI SAYANG DIBUANG? KIRIMKAN SAJA KEPADA KAMI UNTUK DIMUAT DI MEMORABILIA. SHARE KISAH KAMU DI MEMORABILIA. KENANGAN BAIK YANG DIBAGI AKAN TERUS HIDUP, DAN, KENANGAN BURUK YANG DIBAGI AKAN MEMUDAR. KUNJUNGI MEMORABILIAJAKARTA.BLOGSPACE.COM.

Jika dipikir-pikir, itu adalah awal yang tidak begitu baik. Mana ada yang mau membuat kenangan mereka menjadi sumber uang?

Akan tetapi, ada yang mengirimkan barang. Mereka mencari Jingga untuk menyerahkan barang-barang tersebut. Kalung liontin, buku harian—dengan harapan bisa diterbitkan oleh penerbit yang mungkin iseng ingin membeli—hingga sebuah selimut ringan yang dijahit sendiri. Jingga menampung barang-barang tersebut, dan setelah tiga bulan tidak ada yang membeli, barang-barang itu dikembalikan kepada pemiliknya.

“Ini buat kamu saja. Saya juga sudah tahu, siapa yang mau beli selimut bekas. Dibuang juga nggak apa-apa,” kata Jimmy, si pemilik selimut tersebut. Selimut itu diberikan mantan pacarnya, yang menjahitkannya untuk menjadi temannya pada saat tidur.

Begitu juga Januar. Awalnya Januar hanya membantu pembuatan majalah pertama hingga majalah ketiga. Selalu ada artikel untuk ditulis dan layout untuk dikerjakan, karena Jingga, selain mendapatkan klien dari flyer, juga berusaha keras meyakinkan teman-temannya agar rela membagikan beberapa barang penuh kenangan. Dengan iming-iming bisa cepat melupakan kenangan yang mereka miliki dengan barang tersebut, banyak yang tertarik.

Januar juga tertarik.

Ia membongkar bagian belakang lemarinya, menemukan sepasang sneakers merah ukuran 43 favoritnya, yang sudah lama tidak ia pakai. Ia merasa tidak bisa memakainya lagi sejak putus dengan pacarnya. Gadis jurusan Psikologi yang minta putus karena alasan yang tidak bisa ia cerna; bahwa ia sudah berubah, dan tidak ada lagi kesenangan yang sama jika terus bersama dengan Januar.

Ketika memberikan memorabilia tersebut untuk dijual, dan melihat memorabilia itu menghilang dari lemarinya, Januar seperti disuguhi teh dingin sehabis mandi air panas. Ada beban yang hilang, dan ia bisa bernapas lega.

Dari situlah, Memorabilia dimulai. Menjadi semacam “tempat pembuangan terakhir” bagi kenangan bersama orang-orang pada masa lalu, atau fase hidup yang telah berlalu. Ide yang entah bagaimana disukai orang-orang.

Mungkin karena setiap orang memang memiliki kenangan yang ingin mereka lupakan. Entah berapa usia mereka, atau kenangan macam apa yang ingin mereka pindah tangankan ke orang lain.

Mereka terus berpegang pada visi itu hingga hari ini.

“Gue paling takut membayangkan diri gue menjadi ibu-ibu ‘sembilan-lima’ di Jakarta, disuruh-suruh. Duh, paling nggak mau gue.” Karsha menggeleng-geleng dengan raut kesal.

“Lah, emang lo nggak di sini sampai jam lima? Lo kan, juga semacam karyawati di sini …. Apa bedanya sama ibu-ibu ‘sembilan-lima’?” ledek Januar sambil menoyor pipi sepupu yang paling akrab dengannya itu.

Ibu-ibu “sembilan-lima” adalah ungkapan Karsha untuk wanita-wanita mirip tantenya yang bekerja dari pukul sembilan pagi hingga lima sore. Tidak ada yang salah dengan menjadi karyawati, tapi Karsha tidak pernah bisa membayangkan bekerja di bawah perintah orang lain. Sejak dulu, ia ingin membangun bisnisnya sendiri. Membayangkan dirinya harus berpakaian rapi dan berhadapan dengan konflik di pabrik setiap harinya sudah membuat kepalanya migrain.

“Gue ngerti maksud lo, Sha. Lo akan dituntut untuk selalu pakai baju rapi, dan itu hal yang lo benci banget, kan? Dan lagi, kalau mau pakai dress cantik, lo nggak bisa pakai dress cantik untuk diri lo sendiri. Lo harus pakai dress cantik karena sebagai ibu-ibu mandor di pabrik, lo dituntut tampil maksimal ….” Jingga terbahak sambil menyesap kopinya. “Lo pakai dress cantik untuk membangun mimpi orang lain. Bukan mimpi lo sendiri.”

“Atau, kebayang nggak sih, lo jadi kayak mbak-mbak kantoran Jakarta? Baju bagus, rambut rapi, tapi kalau udah mau pulang, ‘senjata tempurnya’ banyak banget. Jaket tebal atau selendang gede, jepit atau karet rambut besar, sandal jepit karet, sama Tolak Angin?” Karsha tertawa sambil membayangkan Jingga dengan rambut di-cepol, berkemeja dan rok rapi ala eksekutif muda, tetapi memakai sandal jepit dan jaket tebal.

“Jangan gitu lo, Sha. Gue sampai sekarang juga begitu kalau pulang dari kantor dan nggak bisa pinjem mobil, jaket sama sandal jepit harus ada. Kalau nggak bakal ribet di dalam bus. Lo mah enak nggak naik bus, lah, gue ….”

Karsha nyengir mendengar hal ini.

“Punya usaha sendiri emang mimpi gue dari dulu, sih. Tapi, gue nggak pernah nyangka aja usahanya ngelihatin foto-foto barang, wawancara orang, bantu ngejualin juga. Rupanya pelajaran metode kualitatif pas kuliah tuh berguna juga, sih, buat wawancara orang,” kata Karsha sambil mengambil salah satu map bening. Map itu berisi lima cerita dari dua puluh cerita yang ditelaah mereka kemarin.

“Lo tau, kan, dulu Januar maunya ambil desain grafis? Tapi, nggak dibolehin ayahnya waktu itu?”

Jingga mengangguk.

“Walau dia belajar sendiri, bokap dia masih sering bilangin dia, percuma dia belajar desain. Nggak akan menolong dia untuk hidup. Duh, om gue yang satu itu emang kolot abis pikirannya. Bayangin kalau nggak kita seret ke Memorabilia, Januar mungkin bisa diseret juga ke pabrik plastik. Kerjanya pasti disuruh tante gue ngelihatin duit mulu dan nggak bisa punya kerjaan di desain.”

Lihat selengkapnya