Entah sejak kapan lantai belakang kelas yang tepat berada di kursi Bina itu jadi tempat tongkrongan kesukaan Rendra dan Alvin. Yang pasti, kedua sejoli itu lebih banyak beraktifitas di sana sekarang. Bahkan, Bina yang notabenenya dulu sangat kesal pada Rendra atas kejadian voli beberapa waktu lalu juga seakan tidak masalah dengan kehadiran kedua makhluk itu di sekitarnya.
Mungkin bagi orang lain hal yang biasa kalau mereka berbagi tempat di kelas yang sama, tapi bagi Mika, ini aneh. Tadi, Mika bahkan menangkap basah Alvin yang berdiri tepat di samping pintu, lantas menyodorkan secarik kertas yang langsung diisi oleh Bina.
Tak sampai di situ, sekarang kedua pemuda itu tampak asik menggerak-gerakkan dua bendera kecil yang biasanya dipakai untuk kode semafor. Ini karena Rendra yang katanya baru saja dilantik jadi penegak, jadilah pemuda itu membawa virus-virus kepramukaan dan menularkannya pada sahabat karib yang sudah jadi seperti saudara kembar siamnya itu. Alvin yang memegang bendera lebih dulu beraksi dengan Rendra yang duduk dihadapannya bersiap menebak.
"Sebut yang lantang ya," katanya menggantikan kata keras yang mengandung unsur huruf r itu menjadi lantang.
Pemuda itu tampak piawai menggerakkan bendera itu. Tangan kanannya hanya direnggangkan sedikit dari pinggang, sedangkan tangan kirinya lurus ke bawah. Lantas berganti gerakan, terus berlanjut membentuk huruf demi huruf hingga menjadi sebuah kalimat.
Rendra mengigit bibir bawah. Ia sudah tahu jawabannya dalam sekali lihat. Hanya saja sedikit ragu untuk menyebutnya atau tidak. Ia melirik sejenak pada gadis yang tengah asik mengobrol dengan Sinar itu, sebelum menghela napas dan memutuskan untuk menjawab.
"Aku sayang Bina," katanya nyaring, menarik seluruh perhatian kelas termasuk Bina sendiri yang kini membulatkan matanya tak percaya. "Jangan salah paham, cuma lagi main kode semafor sama Alvin," jelas Rendra.
Alvin tertawa puas. "Rendra ngodenya bisa aja, ya."
"Alvin mah gitu."
"Iya, aku akuin kamu berani banget."
"Sekarang aku, ya," balas Rendra merebut bendera dengan warna merah dan oranye menyilang seperti dua segitiga yang jadi persegi itu.
"Eh, jangan balas dendam loh."
"Terserah aku dong."
Rendra berdiri tegap, membiarkan tangan kirinya lurus mendatar sedangkan tangan kanannya direnggangkan sedikit dari pinggang. Kemudian berlanjut meluruskan tangan kirinya ke bawah, menimbulkan bunyi-bunyi angin dari kibasan bendera itu. Tak perlu waktu lama bagi Rendra untuk menyelesaikan kodenya dan tersenyum jahil ke arah sahabatnya itu.
"Apaan, sih," kata Alvin jadi salah tingkah.
"Ayo jawab apa?"
"Enggak mau, ah," katanya menolak.
"Yah, bilang aja gak tau jawabnnya."
"Aku tau kok!"
"Terus kenapa enggak bisa kasih tahu jawabannya?"
"Soalnya gitu, sih."
"Apanya sih, Vin? Ini tuh biasa aja enggak kayak tadi." Rendra jadi memain-mainkan bendera di tangannya santai. Puas karena berhasil membuat pemuda itu merasakan apa yang tadi ia rasakan.
"Masa nyebut gitu aja malu."
"Yaudah deh nih disebut," sahut Alvin tak mau diremehkan.
"Cepet. Yang kenceng!"
"Mayalla," katanya nyaring, kemudian jadi memelan saat menyebut kata terakhir. "Saputri."