"Aku dulu dong," teriak Gita pada Farina yang ada di depan kaca.
"Yah, hari ini pelajaran Pak Mahbub nanti aku telat."
Kata-kata itu selalu terucap tiap pagi di asrama putri. Apalagi kalau bukan rebutan kaca. Di ruangan itu, memang hanya ada empat kaca yang terpampang di depan lemari, milik Naja, Ashia, Rasya, dan Sara. Tapi tetap saja, apa yang ada di asrama adalah milik bersama. Bahkan kadang keempat orang pemilik sah cermin itu juga tak kebagian tempat. Sebenarnya masing-masing juga sudah membawa cermin meskipun ukurannya kecil. Hanya saja rasanya tidak lengkap jika tidak bercermin di kaca besar itu.
"Aku di situ!" seru Mika menunjuk cermin Naja yang sudah selesai memakai bedak dan kerudungnya.
Sayangnya, gadis itu kalah cepat. Sebelum ia sampai, Maya sudah lebih dulu duduk di depan cermin sembari menyengir ke arah Mika.
"Yee aku duluan."
"Ih, ya udah aku abis kamu."
"Ngaca aja di belakangku, kak," ujar Maya menawarkan sembari menggeser duduknya lebih ke pinggir.
"Eh, jangan, nanti rebutan pacar loh," ucap Gita di samping mereka.
Mika yang tadi bersiap memakai kerudungnya jadi terkejut. "Emang, iya?"
"Mitosnya gitu."
"Ah, gak apa kok. Aku percaya sama Alvin," ujar Maya percaya diri. Meski ia terlihat masih kesulitan meniup-niup ujung kerudungnya. "Kalau Kak Mika bisa, coba aja godain dia."
Mika menyengir. Ia tahu itu sekedar candaan. Tapi tetap saja memberi efek buruk bagi suasana hatinya. Mika melirik cermin di hadapan adik kelasnya itu sekilas. Perlahan ia melipir ke samping Maya, mendekati cermin yang sudah selesai digunakan Farina. Kata-kata Maya seolah tak hanya menantangnya, tapi juga meremehkan Mika. Mungkin Maya mengira gadis itu tak bisa melakukan hal itu karena sampai sekarang tidak punya pacar sepertinya.
Mika merutuk dalam hati, ia sendiri merasa aneh mengapa merasa sejengkel itu. Untungnya, kerudung gadis itu sedang bersahabat hari ini hingga ia tak perlu berlama-lama di sana. Ia segera mengambil tasnya dan pergi ke sekolah. Berusaha melupakan kalimat adik kelasnya itu.
Saat sedang berlarian kecil menuju kelas, langkahnya terhenti di depan kantor guru. Ada selembar kertas yang menarik perhatiannya. Dua nama pasangan calon Osis kiniĀ terpampang nyata di depan papan mading yang berada tepat di hadapan Mika, gadis itu sempat mengernyit ketika mendapati nama calon wakilnya yang berasal dari kelas sepuluh, padahal menurut kebiasaan hanya kelas sebelas yang boleh bergabung dalam keanggotaan OSIS.
"Mikayla," panggil seseorang yang membuat Mika berbalik.
"Eh, calon Osis." Mika tersenyum miring menyambut Wira.
"Ingat ya, dukung aku."
"Kenapa? Mau menang?"
"Gak juga sih, cuma kan nanti sistemnya kaya pemilu gitu," katanya yang kemudian mengangkat telapak tangan hingga di depan bibir untuk berbisik, "Malu kalo nanti gak ada yang milih sama sekali."
"Oh, gitu, tapi bagus juga kok kalo kamu yang jadi OSIS, dari pada si Rendra itu," kata Mika yang masih memendam kesumat pada Rendra karena pemuda itu selalu mengejeknya dengan Kak Adan semenjak kejadian yang diceritakan Tama waktu itu. "Bisa-bisa kita berada di bawah kekuasaannya Tama dan antek-anteknya itu. Rendranya aja sudah bilang kalo dia setuju jadi ketos boneka."